CELOTEH
RINDU
Rindu bukan rasa ingin untuk bersatu tubuh.
Rindu yang sebenarnya yaitu
keikhlasan untuk menyangkalkan kepentingan lahiriah bagi kepentingan batiniah,
mengganti berahi dengan kasih,
serta pemufakatan budi antara yang diucapkan
dan yang dilakukan.
~ Remi Sylado ~
Saat kita berpisah atau ditinggal oleh orang yang kita cintai, terkadang ada sebuah rasa rindu untuk berjumpa dengannya. Kala rindu tidak kunjung menemukan sebuah kehadiran, terkadang kegelisahan hadir menghantui, kegelisahan akan sebuah kehilangan dan ketidakpastian.
Rindu terkadang dipicu oleh sebuah kenangan yang tiba-tiba hadir dalam ingatan dan memaksa kita untuk merenung sejenak, berimajinasi dan membayangkan sesuatu yang seakan-akan utuh dihadapan kita, sehingga kita mampu segera memegang dan merangkulnya.
Namun rindu bukan semata-mata sebuah keinginan untuk bersatu tubuh namun lebih dari itu, yaitu sebuah perpaduan batin dalam dekapan kasih yang akan mengantarkan kita pada sebuah kondisi dimana ucapan dan tindakan melebur jadi satu dalam keseharian.
Rasa rindu pada dasarnya merupakan sebuah pencarian akan sebuah keutuhan. Rindu adalah sebuah gerak akif, mencari, memberi, dan menjadi.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang rindu justru membuat kita tersiksa dan menderita. Hal itu disebabkan karena rindu itu berorientasi untuk bersatu tubuh, sebuah keinginan untuk memiliki. Bisakah kita melepaskan hal tersebut sehingga rindu itu merdeka dan terasa indah. Rasa rindu yang buta menjadi bukti bahwa sebenarnya kita dengan “dia” masih berjarak.
Kondisi semacam ini sering kita alami karena manusia cenderung—meminjam istilah Heidegger--larut dalam keseharian. Keseharian membuat manusia mengalami kelupaan akan “ada”. Manusia akan tersadar kembali jika ada sebuah ke-kaget-an yang menimpanya, sebuah ke-kaget-an yang mempengaruhi suasana hati. Pada saat itulah manusia kembali tersadar bahwa dirinya mengalami keterlemparan.
Rindu seharusnya membawa kita pada sebuah keutuhan, bukan semakin menciptakan jarak. Kerinduan kita pada Tuhan, Rasulullah dan sang pujaan hati seharusnya mengantarkan kita pada sebuah perjuampaan, bukan semakin menciptakan keterpisahan.
Rindu bukan rasa ingin untuk bersatu tubuh.
Rindu yang sebenarnya yaitu
keikhlasan untuk menyangkalkan kepentingan lahiriah bagi kepentingan batiniah,
mengganti berahi dengan kasih,
serta pemufakatan budi antara yang diucapkan
dan yang dilakukan.
~ Remi Sylado ~
Saat kita berpisah atau ditinggal oleh orang yang kita cintai, terkadang ada sebuah rasa rindu untuk berjumpa dengannya. Kala rindu tidak kunjung menemukan sebuah kehadiran, terkadang kegelisahan hadir menghantui, kegelisahan akan sebuah kehilangan dan ketidakpastian.
Rindu terkadang dipicu oleh sebuah kenangan yang tiba-tiba hadir dalam ingatan dan memaksa kita untuk merenung sejenak, berimajinasi dan membayangkan sesuatu yang seakan-akan utuh dihadapan kita, sehingga kita mampu segera memegang dan merangkulnya.
Namun rindu bukan semata-mata sebuah keinginan untuk bersatu tubuh namun lebih dari itu, yaitu sebuah perpaduan batin dalam dekapan kasih yang akan mengantarkan kita pada sebuah kondisi dimana ucapan dan tindakan melebur jadi satu dalam keseharian.
Rasa rindu pada dasarnya merupakan sebuah pencarian akan sebuah keutuhan. Rindu adalah sebuah gerak akif, mencari, memberi, dan menjadi.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang rindu justru membuat kita tersiksa dan menderita. Hal itu disebabkan karena rindu itu berorientasi untuk bersatu tubuh, sebuah keinginan untuk memiliki. Bisakah kita melepaskan hal tersebut sehingga rindu itu merdeka dan terasa indah. Rasa rindu yang buta menjadi bukti bahwa sebenarnya kita dengan “dia” masih berjarak.
Kondisi semacam ini sering kita alami karena manusia cenderung—meminjam istilah Heidegger--larut dalam keseharian. Keseharian membuat manusia mengalami kelupaan akan “ada”. Manusia akan tersadar kembali jika ada sebuah ke-kaget-an yang menimpanya, sebuah ke-kaget-an yang mempengaruhi suasana hati. Pada saat itulah manusia kembali tersadar bahwa dirinya mengalami keterlemparan.
Rindu seharusnya membawa kita pada sebuah keutuhan, bukan semakin menciptakan jarak. Kerinduan kita pada Tuhan, Rasulullah dan sang pujaan hati seharusnya mengantarkan kita pada sebuah perjuampaan, bukan semakin menciptakan keterpisahan.
Bersyukurlah orang-orang yang sering menghadapi masalah dan tidak lari dari masalah dalam hidupnya, karena masalah yang senantiasa mengingatkan kita akan sebuah ke-rindu-an, masalah yang mengajarkan kita akan arti sebuah ke-nikmat-an, dan masalah yang membimbing kita untuk senantiasa menghargai hidup dan senantiasa meningkatkan kualitas diri. Hakikat kehidupan adalah sebuah proses menjadi. Sebuah proses yang diperjuangkan [Hzr].
Post a Comment