..:Hamzarblog:..

Hidup atau mengada secara sungguh-sungguh berarti berjuang, dengan keringat dan darah, dan bukan hanya sekedar hidup [KIERKEGAARD]”; Bahasa adalah “sangkar ada”. Kenyataan tidak tinggal di luar melainkan bersemayam dalam bahasa “[HEIDEGGER]”; Hidup adalah insting atas pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa. Hidup adalah kehendak untuk penguasaan. Hidup bukan sebagai proses biologis, melainkan sebagai suatu yang mengalir, meretas, dan tidak tunduk pada apapun yang mematikan gerak hidup “[NIETZSCHE]”; Keberadaan diri pada kenyataannya tergantung atas tindakan, pengharapan dan hasrat. Manusia yang tidak mempunyai tiga hal tersebut, hidupnya hampa. Keberadaan kita bergantung pada adanya hasrat-hasrat dan tindakan-tindakan. Ketiadaan dari hal-hal tersebut membuat hidup kita lesu dan hampa “[MUH. IQBAL]

Sunday, October 29, 2006

CELOTEH

MENYIKAPI PRO-KONTRA
WACANA “CABANG TAMALANREA”


Tulisan ini tidak lepas dari subjektifitas saya sebagai pengarang. Silahkan para pembaca menilai tulisan ini, atau bahkan menilai sang pengarang.

Sengaja saya membuat tulisan ini, sebagai bentuk kepedulian saya terhadap perkembangan HMI di Makassar, yang bagi saya beberapa tahun ini mengalami sebuah kemunduran organisatoris. Tulisan ini juga saya arahkan sebagai bentuk penyikapan saya terhadap wacana “Cabang Tamalanrea” yang saat ini mulai menggeliat di Makassar.

Bagi saya, susah rasanya menempatkan diri sebagai orang netral dalam menyikapi wacana “Cabang Tamalanrea”. Hal ini disebabkan karena saya dikenal sebagai anak HMI Unhas (Tamalanrea). Apapun komentar saya tentang “Cabang Tamalanrea”, saya pasti akan terjebak pada sebuah dikotomi; Pro terhadap ide berdirinya “Cabang Tamalanrea” atau kontra terhadap ide berdirinya “Cabang Tamalanrea”.

Susah bin sulit, seharusnya anak-anak HMI di Makassar sudah dewasa dalam menyikapi berbagai wacana yang datang, termasuk dengan datangnya wacana “Cabang Tamalanrea”, sehingga tidak tercipta dikotomi; Pro dengan ide berdirinya “Cabang Tamalanrea” atau kontra terhadap ide berdirinya “Cabang Tamalanrea”. Karena sikap seperti ini justru dapat merusak tradisi intelektual HMI di Makassar. Dikotomi cenderung menyeret kita pada sebuah penyikapan yang emosional dan dangkal yang ujung-ujungnya akan mengarahkan kita pada premanisme (saling menjatuhkan, saling sindir, saling memaki). Jika hal ini terjadi, akibatnya akan terjadi sebuah gap yang sangat besar antara anak HMI Tamalanrea (Unhas) dengan anak HMI yang bukan Tamalanrea (Unhas). Alhasil, HMI di Makassar akan mengalami perpecahan. Siapa yang rugi?

Untuk menghindari hal tersebut, maka seharusnya anak-anak HMI di Makassar bisa terbuka dan mengkaji dengan serius apakah “Cabang Tamalanrea” strategis atau tidak dibentuk di Makassar, sehingga perdebatan kita tidak lagi berbicara tentang bisa-tidak atau mampu-tidaknya anak-anak HMI Unhas (Tamalanrea) mendirikan Cabang Baru (Cabang Tamalanrea).

Dinamika HMI; Dinamika Chaos
Tidak dapat dipungkiri, bahwa dinamika kelembagaan yang ada di HMI adalah sebuah dinamika chaos. Hal ini dapat dilihat dari dinamika perkaderan dan perjuangan HMI, sejak didirikan hingga saat ini, mulai dari proses sosialisasi dan perekrutan kader sampai pada proses me-manag warna-warni pemikiran para kader-kadernya yang semakin garang merobek kemapanan. Namun, justru dengan kondisi chaos ini-lah yang membentuk karakter, kedewasaan, dan militansi, serta membuat HMI sampai saat ini tetap eksis dan sangat diperhitungkan oleh komunitas-komunitas lain.

Chaos tidak selamanya berkonotasi buruk atau negatif, justru chaos adalah seni kehidupan. Hidup ini bukanlah sebuah proses biologis semata, namun sebagai sesuatu yang mengalir, meretas, dan tidak tunduk pada apa pun yang mematikan gerak hidup. Hidup adalah insting atas pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa atau—meminjam bahasanya Nietzsche—hidup adalah kehendak untuk penguasaan.

Menurut Nietzsche, alam semesta sebenarnya adalah suatu chaos yang terus bergerak tanpa henti (in state of flux). Kengerian terhadap chaos menurut Nietzsche adalah tanda dekadensi dan kemandegan karena kengerian tersebut sebenarnya membatasi gerak manusia untuk menjelajahi chaos itu sendiri.

Muhammad Iqbal berpandangan bahwa alam semesta bukanlah sebuah block universe, produk jadi yang telah selesai dan lengkap. Tetapi ia sedang berada dalam tahap-tahap penciptaan terus-menerus menuju kesempurnaan. Penciptaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Waktu dan ruang—menurut Iqbal--sesungguhnya memiliki keleluasaan yang tak terhingga. Karena itu alam akan terus bergerak, berubah dan semakin meluas.

HMI merupakan komunitas yang dihuni oleh individu-individu dan ego-ego. Individu-individu yang menambah aktivitas penciptaan. Kehidupan akan selalu melahirkan yang baru, keinginan, hasrat dan kehendak bagi perubahan. HMI adalah satu ruang lingkup bagi pelaksanaan ego-ego, dan didalam ruang itu pula akan ada jiwa kreatif yang sama yang membentuk diri mereka ke dalam satu sistem yang tersusun, yang secara bertahap bergerak kearah kesempurnaan. Anak-anak HMI adalah para kreator yang akan menghiasi dan mewarnai dunia perkaderan dan perjuangan HMI

Wacana “Cabang Tamalanrea” yang saat ini mulai hangat dibicarakan di Makassar merupakan salah satu bentuk kreasi dari jiwa-jiwa kreatif anak-anak HMI, jiwa-jiwa yang bebas dan merdeka. Wacana “Cabang Tamalanrea” merupakan keinginan, hasrat dan kehendak beberapa anak HMI di Tamalanrea (Unhas) yang haus melahirkan ide-ide kritis, ide-ide perubahan yang konstruktif untuk kepentingan perkembangan HMI di Makassar.

"Cabang Tamalanrea"; Lahir dari Tradisi Intelektual
"Cabang Tamalanrea", kata ini terkesan sederhana, namun ternyata memiliki kekuatan yang dapat menghentak kesadaran anak-anak HMI Cabang Makasar. Hal ini terlihat dari adanya pro-kontra terhadap wacana “Cabang Tamalanrea”.

Tradisi intelektual di Makassar telah banyak melahirkan kader-kader kritis, dan tradisi intelektul inilah yang menjadikan HMI di Makassar masih tetap eksis hingga saat ini. Ide-ide perubahan dan perlawanan selalu lahir dari tradisi intelektual. Salah satu bukti hasil pemikiran kritis anak-anak HMI adalah Khittah Perjuangan yang selama ini menjadi paradigma anak-anak HMI. Khittah Perjuangan yang selama ini telah mengalami penyempurnaan beberapa kali merupakan hasil dari sebuah tradisi intelektual di HMI. Tradisi intelektual inilah yang membuat HMI selalu mampu menjawab tantangan disetiap zamannya, bahkan mampu melampaui zamannya.

Begitu pula dengan munculnya wacana "Cabang Tamalanrea". Wacana "Cabang Tamalanrea" lahir dari sebuah tradisi intelektual, wacana "Cabang Tamalanrea" adalah kreasi kritis jiwa-jiwa kreatif anak-anak HMI. Ia adalah keinginan, hasrat dan kehendak, sebuah semangat untuk senantiasa melakukan perubahan dan perbaikan. Dan bagi saya, lahirnya wacana “Cabang Tamalanrea” sama posisinya dengan lahirnya wacana Gerakan Tamadduni. Ia adalah sebuah ikhtiar untuk menjawab tantangan zaman. Sebuah kekeliruan kalau ada yang memandang sebelah mata atas lahirnya wacana "Cabang Tamalanrea".

Miris hati ini rasanya apabila ada kader HMI yang masih bersikap ke-kanak-kanak-an dalam menyikapi wacana “Cabang Tamalanrea”. Sikap ke-kanak-kanak-an tersebut justru dapat merusak tradisi intelektual di Makassar. Apabila sikap-sikap seperti itu tidak segera dirubah, maka dia akan menjadi bumerang bagi lahirnya kader-kader kritis HMI di Makassar.

Buka Ruang Dialog
Tulisan ini tidaklah mampu memuaskan hati para pembaca—karena memang tulisan ini bukan untuk menjawab, namun untuk melahirkan tanya. Olehnya itu, bagi para pembaca yang mau membuka ruang dialog, saya siap diajak berdiskusi mengenai wacana “Cabang Tamalanrea”. [Hzr]

Al Hikmah Com., 29 Oktober 2006


0 Komentar: