..:Hamzarblog:..

Hidup atau mengada secara sungguh-sungguh berarti berjuang, dengan keringat dan darah, dan bukan hanya sekedar hidup [KIERKEGAARD]”; Bahasa adalah “sangkar ada”. Kenyataan tidak tinggal di luar melainkan bersemayam dalam bahasa “[HEIDEGGER]”; Hidup adalah insting atas pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa. Hidup adalah kehendak untuk penguasaan. Hidup bukan sebagai proses biologis, melainkan sebagai suatu yang mengalir, meretas, dan tidak tunduk pada apapun yang mematikan gerak hidup “[NIETZSCHE]”; Keberadaan diri pada kenyataannya tergantung atas tindakan, pengharapan dan hasrat. Manusia yang tidak mempunyai tiga hal tersebut, hidupnya hampa. Keberadaan kita bergantung pada adanya hasrat-hasrat dan tindakan-tindakan. Ketiadaan dari hal-hal tersebut membuat hidup kita lesu dan hampa “[MUH. IQBAL]

Wednesday, January 31, 2007

UANG ADALAH SEGALANYA

Uang memang bukan penentu segalanya, tapi uang menentukan banyak hal. Uang memang tidak dapat digunakan untuk membeli kebahagiaan, tetapi uang bisa menjadi kendaraan untuk memperoleh kebahagiaan. Dalam kehidupan materil—kehidupan duniawi—uang adalah segalanya. Bagiku, hampir 95% aspek kehidupan manusia ditentukan oleh uang.

Kita memang dituntut untuk dapat menyeimbangkan antara sesuatu yang duniawi dengan sesuatu yang ilahiah. Pada diri manusia melekat sesuatu yang bersifat duniawi dan ilahiah, tubuh manusia adalah sesuatu yang bersifat duniawi dan roh adalah sesuatu yang bersifat ilahiah. Tubuh memiliki kecenderungan untuk “membumi” dan roh memiliki kecenderungan untuk “melangit”. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana manusia menyeimbangkan dua kutup yang berbeda ini (duniawi dan ilahiah)?

Pertanyaan diatas akan menjebak kita pada oposisi biner—karena memang manusia tidak bisa lepas dari konsep oposisi. Ketika kita berbicara sesuatu yang duniawi maka—sadar atau tidak—kita akan menghadapkannya atau membandingkannya dengan sesuatu yang ilahiah, begitu pula sebaliknya, ketika kita berbicara sesuatu yang bersifat ilahiah, maka kita akan menghadapkannya dengan sesuatu yang duniawi. Inilah yang menyebabkan manusia terkadang mengalami dualisme/keterpecahan subyek dalam mengarungi kehidupannya. Karena manusia berada dalam dunia materil, maka sifat-sifat duniawilah yang cenderung mendominasi manusia, bahkan paradigma (cara pandang melihat realitas) yang digunakan pun dibentuk oleh sesuatu yang duniawi. Dimanakah ruang untuk sesuatu yang ilahiah? Jawabannya ada dalam kesunyian dan kesendirian. Dalam kesunyianlah sesuatu yang ilahiah dapat membumi dan dalam kesendirianlah kita mampu melangit dan bercumbu dengan sesuatu yang ilahiah.

Sekarang, seberapa besarkah ruang kesunyian dan kesendiran bila dibandingkan dengan ruang keramaian yang bising dan massif? Ternyata ruang kesunyian dan kesendirian sangatlah kecil, ia hanya dapat ditemukan di sudut-sudut keramaian—masjid yang hening, kamar pribadi yang hening, ditengah hutan.

Rasa pesimispun muncul melihat realitas semacam ini. Mampukah aku menyeimbangkan antara yang duniawi dan yang ilahiah! Bayangkan saja, dari waktu sehari semalam, ruang kesunyian dan kesendirian hanya berada pada sepertiga malam, dan sisanya dikuasai oleh keramaian dan kesibukan. Jadi tidak salah kalau aku mengatakan bahwa uang menentukan banyak hal. Dalam kehidupan duniawi, uang adalah segalanya. Yang ilahiah hanya berada di sudut-sudut yang duniawi. [Hzr]

Al Hikmah Com., 29 Januari 2006

0 Komentar: