..:Hamzarblog:..

Hidup atau mengada secara sungguh-sungguh berarti berjuang, dengan keringat dan darah, dan bukan hanya sekedar hidup [KIERKEGAARD]”; Bahasa adalah “sangkar ada”. Kenyataan tidak tinggal di luar melainkan bersemayam dalam bahasa “[HEIDEGGER]”; Hidup adalah insting atas pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa. Hidup adalah kehendak untuk penguasaan. Hidup bukan sebagai proses biologis, melainkan sebagai suatu yang mengalir, meretas, dan tidak tunduk pada apapun yang mematikan gerak hidup “[NIETZSCHE]”; Keberadaan diri pada kenyataannya tergantung atas tindakan, pengharapan dan hasrat. Manusia yang tidak mempunyai tiga hal tersebut, hidupnya hampa. Keberadaan kita bergantung pada adanya hasrat-hasrat dan tindakan-tindakan. Ketiadaan dari hal-hal tersebut membuat hidup kita lesu dan hampa “[MUH. IQBAL]

Saturday, April 14, 2007

Surat terbuka untuk Sahabat

Surat ini sengaja aku buat sebagai bentuk kecintaanku pada teman-teman semua. Isi surat ini lahir dari kecemasan jiwa yang meronta. Isi surat ini mengalir dari tetesan air mata yang mengering. Surat ini hadir dari segenggam harapan yang menguap sirna. Sungguh…, surat ini aku buat sebagai bentuk kecintaanku pada teman-teman semua. Ini adalah ungkapan hati terdalam dari seorang pencinta penuh derita.

Entah Kenapa, apakah ini karakter/kepribadian dasariah ataukah ini sebentuk konstruk sistem tertentu yang membentuk karakter dan kepribadianku. Aku menjadi orang yang begitu melankolis, pemurung dan berjiwa sosial tinggi. Aku dikenal sebagai orang yang cerdas dan pintar mengatur orang lain, namun tidak bisa mengatur diri sendiri.

Ketika ayahku sakit keras, aku lebih memilih bertahan di Makassar dari pada harus pulang ke Balikpapan. Keputusan untuk pulang ke Balikpapan itu pun aku ambil setelah mendengar ayahku masuk rumah sakit. Ketika aku mencari uang pinjaman untuk membeli tiket pesawat, tidak ada yang bisa membantuku. Dengan keterbatasan uang, aku pun memilih untuk naik kapal laut. Hadiah apa yang aku dapatkan? Aku ‘tak sempat menemani detik-detik terakhir saat ayahku menghembuskan nafasnya yang terakhir. Yang aku temukan tingallah jasad yang telah terbaring tenang dan ditutup oleh sehelai kain. Tidak ada yang tau, betapa guncangnya jiwaku. Hingga saat ini pun darahku terasa panas ketika aku teringat peristiwa itu. Sejak peristiwa itu pun aku menjadi sangat peka dengan kabar-kabar kematian.

Entah Kenapa aku begitu mencintai kalian, hingga semua yang ada pada diriku telah aku berikan. Kebahagiaan dan masa depanku telah aku hadiahkan. Semua untuk kebahagiaan kalian. Berpisah dengan teman-teman adalah siksaan bagiku. Ketika ada sahabat yang marah, kesal dan mendiamiku, sungguh itu adalah derita yang sangat bagiku. Maafkan aku yang terkesan tertutup dan merahasiakan berbagai masalahku pada teman-teman. Hal ini aku lakukan semata-mata agar tidak mempengaruhi semangat dan komitmen teman-teman untuk mengawal ide yang kita bangun bersama.

Dari umur perkaderan, mungkin aku adalah yang tertua diantara kalian. Aku masih ingat ketika Sujarwadi ikut LK 1 dan saat itu aku yang menjadi ketua panitianya. Aku masih ingat ketika Rus’an aku ajak untuk ikut LK 1. Aku masih ingat ketika Irma, Miah, Ita, dan Willy ikut LK 1, dan pada saat itu aku, Yaya dan Rospiah masih menjadi pengurus di komisariat. Aku masih ingat ketika Wahid dan Ashari ikut LK 1 dan pada saat itu aku pun masih menjadi pengurus di komisariat. Itu adalah kenangan yang tak akan pernah aku lupakan.

Lucu juga rasanya, akhirnya kita dipertemukan juga dalam satu kepengurusan yang dianggap ilegal oleh orang yang memegang kekuasaan.

Mungkin teman-teman masih ingat saat kita melakukan konferensi pertama di SSC. Sungguh mengharukan ketika teman-teman memilihku sebagai ketua, walaupun aku menyadari dan merasakan ada satu orang diantara kalian yang setengah hati dengan keputusan itu. Teman-teman juga pasti sudah menyadari kalau ada satu orang diantara kalian yang tidak menggunakan hak pilihnya. Saat menyadari hal itu, aku pun merasa bahwa diriku tidak layak menjadi ketua kalian. Kenapa bukan orang yang tidak menggunakan hak pilihnya itu yang menjadi ketua, bukan aku.

Sungguh saat itu aku tertekan dan kembali mempertanyakan, seriuskan teman-teman mengawal ide yang kita bangun bersama. Ketika orang-orang yang membangun ide itu serius, maka seharusnya orang yang melahirkan ide itu harus lebih serius mengawal idenya. Dia harus lebih kuat mengawal idenya dan tidak blunder atas apa yang ia perjuangkan.

Saat ini pun aku kembali bertanya, apakah teman-teman serius memilihku sebagai ketua kalian? Apakah saat pemilihan ketua teman-teman tulus dan ikhlas untuk memilihku? Dan apakah saat ini teman-teman masih menganggapku sebagai ketua? Kalau memang iya, kenapa kita bisa terpecah? Apakah ada diantara teman-teman yang menganggapku tidak layak sebagai pemimpin? Ataukah memang aku bukanlah seorang ketua yang baik, ketua yang tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan teman-teman?

Sejak awal telah aku tekankan pada teman-teman bahwa tantangan terberat yang harus kita hadapi bila mengawal ide ini adalah tekanan psikologis dari berbagai pihak. Tapi uangkapan yang sering kali aku lontarkan itu terkesan sia-sia saja. Pada akhirnya diantara kita pun sudah memilih jalan masing-masing. Aku pun tak punya kekuatan untuk menghalangi pilihan teman-teman. Kalau memang itu yang terbaik bagi teman-teman, jalanilah pilihan itu. Namun satu pesanku, jangan pernah bunuh ide yang pernah teman-teman lahirkan.

Aku pun punya pilihan hidup sendiri, aku masih dalam pilihanku yang pertama. Teman-teman belum pernah memecatku sebagai ketua dan selama itu pula (walaupun hanya sendiri), aku akan tetap memikul amanah yang pernah teman-teman bebankan kepadaku. Bagiku ini adalah persoalan prinsip hidup.

Terakhir, sebelum teman-teman ‘pergi’. Aku ingin meminta maaf atas kelemahan, kelalaian dan kesalahan yang pernah aku lakukan. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi ketua yang baik.

Kepada para akhwat, maafkan aku, harapan tulusku diantara kalian tidak mampu aku wujudkan. Tidak ada yang bisa aku ‘persembahkan’ buat kalian, aku malu pada kalian. Aku merasa ‘tertolak’. Aku hancur.

Kepada adik-adikku dikomisariat, maafkan kakakmu ini. Aku tak bisa menemani kalian lebih lama lagi. Aku terpedaya.

Kepada kanda-kanda dan senior-senior di Unhas, “Ketika kanda-kanda menggiring ‘kami’ untuk islah, apakah sudah dipikirkan efek yang akan terjadi bagi eksistensi ‘kita’ di Unhas? Beberapa generasi akan hilang dan apakah ada jaminan perkaderan di Unhas akan kembali normal? Kalau sampai ‘kita’ di Unhas mati, siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab?”

1 Komentar: