..:Hamzarblog:..

Hidup atau mengada secara sungguh-sungguh berarti berjuang, dengan keringat dan darah, dan bukan hanya sekedar hidup [KIERKEGAARD]”; Bahasa adalah “sangkar ada”. Kenyataan tidak tinggal di luar melainkan bersemayam dalam bahasa “[HEIDEGGER]”; Hidup adalah insting atas pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa. Hidup adalah kehendak untuk penguasaan. Hidup bukan sebagai proses biologis, melainkan sebagai suatu yang mengalir, meretas, dan tidak tunduk pada apapun yang mematikan gerak hidup “[NIETZSCHE]”; Keberadaan diri pada kenyataannya tergantung atas tindakan, pengharapan dan hasrat. Manusia yang tidak mempunyai tiga hal tersebut, hidupnya hampa. Keberadaan kita bergantung pada adanya hasrat-hasrat dan tindakan-tindakan. Ketiadaan dari hal-hal tersebut membuat hidup kita lesu dan hampa “[MUH. IQBAL]

Monday, October 30, 2006

JERITAN JIWA

PEREMPUAN, akan menjadi manusia agung setelah dia menjadi seorang ibu. Kualitas seorang perempuan dapat diakui apabila dia sudah mendapat gelar seorang ibu. Perempuan bisa dikatakan perempuan apabila dia sudah menjadi seorang ibu. Coba renungkan pengorbanan seorang ibu pada dirimu.

Coba renungkan, bagaimana sakitnya perut seorang ibu menahan perihnya tendanganmu mengenai dinding rahimnya saat engkau berada dalam kandungannya.

Coba renungkan, betapa sakitnya seorang ibu saat membiarkamu keluar dengan angkuh dari dalam rahimnya.

Coba renungkan, betapa lelahnya seorang ibu membujuk dan menimangmu ketika engkau merengek meminta tanpa mengenal puas.

Coba renungkan, bagaimana seorang ibu terganggu istirahatnya ketika engkau ngompol ditengah malam.

Coba renungkan, betapa sedihnya seorang ibu saat dia ditinggal mati oleh suaminya.

Coba renungkan, bagaimana seorang ibu gelisah memikirkan biaya pendidikanmu.

Renungkanlah…renungkanlah semuanya…

Adakah kualitas perempuan yang melebihi kualitas seorang ibu?
Tidak ada…
Sampai kapan pun, tidak akan ada yang bisa mengalahkan kualitas seorang ibu.

Ibu…
Detik ini aku menangis mengenang dirimu!

Al Hikmah Com., 29 Oktober 2006

0 Komentar:

INI AKU


0 Komentar:

Sunday, October 29, 2006

CELOTEH

MENYIKAPI PRO-KONTRA
WACANA “CABANG TAMALANREA”


Tulisan ini tidak lepas dari subjektifitas saya sebagai pengarang. Silahkan para pembaca menilai tulisan ini, atau bahkan menilai sang pengarang.

Sengaja saya membuat tulisan ini, sebagai bentuk kepedulian saya terhadap perkembangan HMI di Makassar, yang bagi saya beberapa tahun ini mengalami sebuah kemunduran organisatoris. Tulisan ini juga saya arahkan sebagai bentuk penyikapan saya terhadap wacana “Cabang Tamalanrea” yang saat ini mulai menggeliat di Makassar.

Bagi saya, susah rasanya menempatkan diri sebagai orang netral dalam menyikapi wacana “Cabang Tamalanrea”. Hal ini disebabkan karena saya dikenal sebagai anak HMI Unhas (Tamalanrea). Apapun komentar saya tentang “Cabang Tamalanrea”, saya pasti akan terjebak pada sebuah dikotomi; Pro terhadap ide berdirinya “Cabang Tamalanrea” atau kontra terhadap ide berdirinya “Cabang Tamalanrea”.

Susah bin sulit, seharusnya anak-anak HMI di Makassar sudah dewasa dalam menyikapi berbagai wacana yang datang, termasuk dengan datangnya wacana “Cabang Tamalanrea”, sehingga tidak tercipta dikotomi; Pro dengan ide berdirinya “Cabang Tamalanrea” atau kontra terhadap ide berdirinya “Cabang Tamalanrea”. Karena sikap seperti ini justru dapat merusak tradisi intelektual HMI di Makassar. Dikotomi cenderung menyeret kita pada sebuah penyikapan yang emosional dan dangkal yang ujung-ujungnya akan mengarahkan kita pada premanisme (saling menjatuhkan, saling sindir, saling memaki). Jika hal ini terjadi, akibatnya akan terjadi sebuah gap yang sangat besar antara anak HMI Tamalanrea (Unhas) dengan anak HMI yang bukan Tamalanrea (Unhas). Alhasil, HMI di Makassar akan mengalami perpecahan. Siapa yang rugi?

Untuk menghindari hal tersebut, maka seharusnya anak-anak HMI di Makassar bisa terbuka dan mengkaji dengan serius apakah “Cabang Tamalanrea” strategis atau tidak dibentuk di Makassar, sehingga perdebatan kita tidak lagi berbicara tentang bisa-tidak atau mampu-tidaknya anak-anak HMI Unhas (Tamalanrea) mendirikan Cabang Baru (Cabang Tamalanrea).

Dinamika HMI; Dinamika Chaos
Tidak dapat dipungkiri, bahwa dinamika kelembagaan yang ada di HMI adalah sebuah dinamika chaos. Hal ini dapat dilihat dari dinamika perkaderan dan perjuangan HMI, sejak didirikan hingga saat ini, mulai dari proses sosialisasi dan perekrutan kader sampai pada proses me-manag warna-warni pemikiran para kader-kadernya yang semakin garang merobek kemapanan. Namun, justru dengan kondisi chaos ini-lah yang membentuk karakter, kedewasaan, dan militansi, serta membuat HMI sampai saat ini tetap eksis dan sangat diperhitungkan oleh komunitas-komunitas lain.

Chaos tidak selamanya berkonotasi buruk atau negatif, justru chaos adalah seni kehidupan. Hidup ini bukanlah sebuah proses biologis semata, namun sebagai sesuatu yang mengalir, meretas, dan tidak tunduk pada apa pun yang mematikan gerak hidup. Hidup adalah insting atas pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa atau—meminjam bahasanya Nietzsche—hidup adalah kehendak untuk penguasaan.

Menurut Nietzsche, alam semesta sebenarnya adalah suatu chaos yang terus bergerak tanpa henti (in state of flux). Kengerian terhadap chaos menurut Nietzsche adalah tanda dekadensi dan kemandegan karena kengerian tersebut sebenarnya membatasi gerak manusia untuk menjelajahi chaos itu sendiri.

Muhammad Iqbal berpandangan bahwa alam semesta bukanlah sebuah block universe, produk jadi yang telah selesai dan lengkap. Tetapi ia sedang berada dalam tahap-tahap penciptaan terus-menerus menuju kesempurnaan. Penciptaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Waktu dan ruang—menurut Iqbal--sesungguhnya memiliki keleluasaan yang tak terhingga. Karena itu alam akan terus bergerak, berubah dan semakin meluas.

HMI merupakan komunitas yang dihuni oleh individu-individu dan ego-ego. Individu-individu yang menambah aktivitas penciptaan. Kehidupan akan selalu melahirkan yang baru, keinginan, hasrat dan kehendak bagi perubahan. HMI adalah satu ruang lingkup bagi pelaksanaan ego-ego, dan didalam ruang itu pula akan ada jiwa kreatif yang sama yang membentuk diri mereka ke dalam satu sistem yang tersusun, yang secara bertahap bergerak kearah kesempurnaan. Anak-anak HMI adalah para kreator yang akan menghiasi dan mewarnai dunia perkaderan dan perjuangan HMI

Wacana “Cabang Tamalanrea” yang saat ini mulai hangat dibicarakan di Makassar merupakan salah satu bentuk kreasi dari jiwa-jiwa kreatif anak-anak HMI, jiwa-jiwa yang bebas dan merdeka. Wacana “Cabang Tamalanrea” merupakan keinginan, hasrat dan kehendak beberapa anak HMI di Tamalanrea (Unhas) yang haus melahirkan ide-ide kritis, ide-ide perubahan yang konstruktif untuk kepentingan perkembangan HMI di Makassar.

"Cabang Tamalanrea"; Lahir dari Tradisi Intelektual
"Cabang Tamalanrea", kata ini terkesan sederhana, namun ternyata memiliki kekuatan yang dapat menghentak kesadaran anak-anak HMI Cabang Makasar. Hal ini terlihat dari adanya pro-kontra terhadap wacana “Cabang Tamalanrea”.

Tradisi intelektual di Makassar telah banyak melahirkan kader-kader kritis, dan tradisi intelektul inilah yang menjadikan HMI di Makassar masih tetap eksis hingga saat ini. Ide-ide perubahan dan perlawanan selalu lahir dari tradisi intelektual. Salah satu bukti hasil pemikiran kritis anak-anak HMI adalah Khittah Perjuangan yang selama ini menjadi paradigma anak-anak HMI. Khittah Perjuangan yang selama ini telah mengalami penyempurnaan beberapa kali merupakan hasil dari sebuah tradisi intelektual di HMI. Tradisi intelektual inilah yang membuat HMI selalu mampu menjawab tantangan disetiap zamannya, bahkan mampu melampaui zamannya.

Begitu pula dengan munculnya wacana "Cabang Tamalanrea". Wacana "Cabang Tamalanrea" lahir dari sebuah tradisi intelektual, wacana "Cabang Tamalanrea" adalah kreasi kritis jiwa-jiwa kreatif anak-anak HMI. Ia adalah keinginan, hasrat dan kehendak, sebuah semangat untuk senantiasa melakukan perubahan dan perbaikan. Dan bagi saya, lahirnya wacana “Cabang Tamalanrea” sama posisinya dengan lahirnya wacana Gerakan Tamadduni. Ia adalah sebuah ikhtiar untuk menjawab tantangan zaman. Sebuah kekeliruan kalau ada yang memandang sebelah mata atas lahirnya wacana "Cabang Tamalanrea".

Miris hati ini rasanya apabila ada kader HMI yang masih bersikap ke-kanak-kanak-an dalam menyikapi wacana “Cabang Tamalanrea”. Sikap ke-kanak-kanak-an tersebut justru dapat merusak tradisi intelektual di Makassar. Apabila sikap-sikap seperti itu tidak segera dirubah, maka dia akan menjadi bumerang bagi lahirnya kader-kader kritis HMI di Makassar.

Buka Ruang Dialog
Tulisan ini tidaklah mampu memuaskan hati para pembaca—karena memang tulisan ini bukan untuk menjawab, namun untuk melahirkan tanya. Olehnya itu, bagi para pembaca yang mau membuka ruang dialog, saya siap diajak berdiskusi mengenai wacana “Cabang Tamalanrea”. [Hzr]

Al Hikmah Com., 29 Oktober 2006


0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Dinda…
Apa yang membuatmu begitu bersedih
Hingga air matamu begitu deras
Membasahi pipimu yang tipis

Dinda…
Katakan padaku
Apa yang membuatmu begitu bersedih
Begitu tajamkah masalahmu
Hingga hatimu tak mampu menahan luka

Dinda…
Katakan padaku
Apa yang membuatmu begitu bersedih
Begitu tipiskah selaput air matamu
Hingga basah bantal dikasurmu

Dinda…
Aku ‘tak mampu menghiburmu
Ruang begitu kuat membatasi kita
Hanya rasa yang mampu aku berikan
Bahwa sedihmu adalah sedihku juga

Dinda…
Tenanglah engkau disana
Biar tenang pula aku disini

Buat Si Gadis Salju
Al Hikmah Com., 29 Oktober 2006

1 Komentar:

    • At 12:02 AM, Blogger muhammad kasman said…

      hamzar siapa yang kau mauksud dengan gadis salju?
      jangan2 si gadis mongol.. bersaingki' itu...

      gmana kabarnya lesung pipiku, pernahko ketemu? salamku na' kalau ketemuko...

      tidak pernahka bela hubungi.. tidak ada pulsaku..

      eh smskanka' lagi username dan pasword blogmu nanti saya perbaiki coz jelek sekali editnya skrg..

      nanti kalo sudahmi liatmoko..
      kalau kau ketemu kader2.. sebarko semua alamat2 blog agar mereka rajin baca informasi bela...

      jangan sampai kader2 kita gap tek...

      liatko bede jarang akhwat yang punya blog

      akhwat2 kita harus diajari agara tidak gap tek,,,
      sepertinya aku bisa usahakan jaringan, kalau kalian mau pelatihan bikin blog..

      bagaimana sepakat?

       
    • Post a Comment
Saturday, October 21, 2006


0 Komentar:

JERITAN JIWA

Hari lebaran ini
Banyak orang yang berbahagia
Berkumpul bersama orang tua dan sanak saudaranya

Tidak seperti diriku
Yang baru saja ditingal pergi oleh seorang ayah
Ibu dan adik-adikku jauh diseberang lautan

Aku merasa sepi disini
Walau banyak sahabat dan keluarga yang menemani
Aku sedih…
Aku rindu mencium kedua tangan orang tuaku
Memohon maaf secara langsung dihadapannya

Aku rindu bersama mereka dihari yang fitri
Ayah…Ibu…
Maafkanlah dosa dan kesalahan anakmu ini!

Al Hikmah Com., 21 Oktober 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Jum’at , 15 September 2006
Hari ini aku mendapat kabar kalau ayahku sudah dua hari tak sadarkan diri
Hatiku tersentak
Air mata ‘tak terasa mengalir deras
Mengobati sesaknya dada

Sabtu, 16 September 2006
Hari ini aku mendapat kabar ayahku masuk rumah sakit
Kembali jantungku berdetak kencang
Air mata kembali mengobati gelisah
Aku ingin pulang segera
Namun apalah daya, harga tiket pesawat terlalu tinggi untukku

Minggu, 17 September 2006
Aku berlayar sehari semalam menuju rumah
Dengan beribu tanya dan gelisah
Kupandangi lautan Makassar-Balikpapan

Senin, 18 September 2006 pukul 18.15 wita
Hari inilah ayahku menghembuskan nafas terakhirnya
Aku ‘tak sempat menjumpainya
Karena aku tiba pukul 20.00 wita
Aku ‘tak sempat menemaninya
Bertemu malaikat pencabut nyawa

‘Tak ada pesan yang ditinggalkan ayahku padaku
Karena memang dia tak mampu berbicara lagi
Mulutnya lumpuh
Karena struk telah memecah saraf di kepalanya
Ia hanya mampu meneteskan air mata
Air mata yang menjelma tanda tanya
Apa sebenarnya yang ingin dia katakan?
Apakah ia menantikan kehadiranku yang masih jauh dirantau?

Air mata itulah yang mengahantuiku hingga detik ini
Sebuah rasa bersalah yang belum mampu aku atasi
Aku tiba dirumah dalam keadaan ayahku tak bernyawa lagi
Ayahku tidak di Rumah sakit lagi
Ia sudah terbaring tenang digubuk kecil kami

Namun aku merasa agak tenang setelah aku menatap wajahnya
Sebuah senyuman terpancar dari bibirnya yang beku
Kulitnya kencang menutupi dagingnya yang utuh
Cerah…
Sungguh kemuliaan yang diberikan Tuhan pada ayahku

Aku pun merindukan kematian semacam itu
Tenang dalam pelukan kasih Ilahi…

Al Hikmah Com., 20 Oktober 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Hari seakan berlari cepat
Bergulir diburu kesibukan duniawi
Hingga luasan hari pun takluk oleh luasan keseharian

Tubuh ini pun mulai layu
Karena kesibukan duniawi merampas waktu istirahatnya

Jiwa ini pun ikut kering
Karena kesibukan duniawi ‘tlah mencuri ruang cintanya dengan Sang Kekasih

Akankah kesibukan duniawi menjadi Tuhan!
Ataukah ia thoghut
Yang kapan saja bisa merebut dan membuang sang kekasih dari sisi sang hamba!

Bertaubatlah…
Kembalilah bersimpuh dihadapan-Nya

Al Hikmah Com., 5 Oktober 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Sepertiga bulan penyucian telah dijejaki
Masihkah kita akan larut dalam keseharian
Lupa untuk bersimpuh dihadapan-Nya
Masihkah kita diperbudak oleh rutinitas dunia
Yang tiada henti menghujamkan baja dikepala kita

Masih ada dua per tiga bulan penyucian
Rayakanlah…
Bukan untuk pahala dan surga-Nya
Namun untuk bisa dekat dengan-Nya dan bisa melihat wajah-Nya dihari nanti

Kerinduan pada seorang kekasih
Adalah harapan untuk berjumpa dan melihat wajahnya
Bukan untuk menerima hadiah dirinya

Al Hikmah Com., 4 Oktober 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Berharap akan suasana yang harmonis dan dinamis, suasana yang penuh persaudaraan dan kesetiaan, suasana yang damai dan penuh kasih sayang.

Namun entah kenapa aku sulit sekali merangkulnya, mendekapnya dalam keutuhan.

Pada dasarnya, semua orang merindu akan keutuhan, namun sekali lagi, kenapa mereka sulit sekali dipadukan dalam keharmonisan yang dinamis, persaudaraan yang setia, kedamaian yang penuh kasih sayang…kenapa?

Kenapa malah penderitaan yang aku dapatkan untuk sebuah keutuhan! Apakah memang penderitaan adalah syarat sebuah keutuhan? Entahlah…
Gedung Lanto Dg. Pasewang, 31 Agustus 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Sudah empat tahun lamanya aku kuliah, namun belum ada prestasi akademik yang memuaskan. Kuliahku terkatung-katung tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Teman-temanku sudah banyak yang memakai toga, tapi aku masih harus disibukkan oleh tugas, lab, praktek lapang dan laporan…makanan wajib yang menyebalkan.

Aku juga ingin berhasil di akademik, karena sarjana adalah dambaan banyak orang. Tapi… apakah itu semua dapat tercapai dengan kondisiku yang semakin tertekan. Aku sudah harus mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah lagi dengan kondisi kepungurusanku di HMI yang pincang.

Sulit sekali rasanya merangkul mereka semua menjadi sebuah simpul yang solid, simpul yang mampu menciptakan pusaran angin puyuh. Akh…mungkin aku yang terlalu berpikir berlebihan… tapi boleh khan!
Gedung Lanto Dg. Pasewang, 31 Agustus 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Suatu hari seorang teman pernah mengatakan padaku; “semua masalah yang aku hadapi akan membuatku menjadi semakin dewasa. Jangan pernah mengambil pilihan hidup yang bisa merugikan orang lain, karena semua pilihan pasti ada konsekuensinya”.

Aku pun menjawabnya dengan sederhana; “yang bisa aku lakukan adalah senantiasa berbuat, berkarya, mengukir hidup dengan darah, dengan air mata. Inilah “hidup”. Konsekuensi dengan tidak mengorbankan orang lain, adalah siap menjadi korban…jadi martir”.

Namun setelah itu aku pun kembali termenung; “apakah untuk membahagiakan orang lain, aku harus jadi korban dan jadi martir? Haruskah aku menafikkan orang lain agar aku bisa tenang dan bahagia?” Entahlah… aku bingung… aku pusing…, mungkin waktulah yang akan menjawab dan menyingkap semuanya.
Gedung Lanto Dg. Pasewang, 31 Agustus 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Benarkah apa yang aku hadapi selama ini adalah kepalsuan! Agama pun mengungkapkan bahwa dunia ini fana, dan yang abadi dan kekal hanyalah di akhirat nanti.

Kalau begitu, kerinduanku akan sesuatu yang utuh baru bisa tercapai di akhirat nanti. Yang aku temui didunia ini didominasi oleh perpecahan, penderitaan dan kepalsuan. Yach… semuanya palsu!
Gedung Lanto Dg. Pasewang, 31 Agustus 2006

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Wahai kedamaian
Hadirlah dalam hidup kami
Hembuskan angin cinta
Membelai wajah kami yang suram karena benci

Wahai kebencian
Sapalah kami
Ajaklah kami dalam dunia syukur dan sabar
Dunia yang ‘tak mengenal perih dan derita

Wahai dunia yang tercipta dalam hukum keseimbangan
Iringi kami dengan lantunan syair kebijakan

Balikpapan, 8 Juni 2006

0 Komentar:

Friday, October 20, 2006

CELOTEH

RINDU


Rindu bukan rasa ingin untuk bersatu tubuh.
Rindu yang sebenarnya yaitu
keikhlasan untuk menyangkalkan kepentingan lahiriah bagi kepentingan batiniah,
mengganti berahi dengan kasih,
serta pemufakatan budi antara yang diucapkan
dan yang dilakukan.
~ Remi Sylado ~


Saat kita berpisah atau ditinggal oleh orang yang kita cintai, terkadang ada sebuah rasa rindu untuk berjumpa dengannya. Kala rindu tidak kunjung menemukan sebuah kehadiran, terkadang kegelisahan hadir menghantui, kegelisahan akan sebuah kehilangan dan ketidakpastian.

Rindu terkadang dipicu oleh sebuah kenangan yang tiba-tiba hadir dalam ingatan dan memaksa kita untuk merenung sejenak, berimajinasi dan membayangkan sesuatu yang seakan-akan utuh dihadapan kita, sehingga kita mampu segera memegang dan merangkulnya.

Namun rindu bukan semata-mata sebuah keinginan untuk bersatu tubuh namun lebih dari itu, yaitu sebuah perpaduan batin dalam dekapan kasih yang akan mengantarkan kita pada sebuah kondisi dimana ucapan dan tindakan melebur jadi satu dalam keseharian.

Rasa rindu pada dasarnya merupakan sebuah pencarian akan sebuah keutuhan. Rindu adalah sebuah gerak akif, mencari, memberi, dan menjadi.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang rindu justru membuat kita tersiksa dan menderita. Hal itu disebabkan karena rindu itu berorientasi untuk bersatu tubuh, sebuah keinginan untuk memiliki. Bisakah kita melepaskan hal tersebut sehingga rindu itu merdeka dan terasa indah. Rasa rindu yang buta menjadi bukti bahwa sebenarnya kita dengan “dia” masih berjarak.

Kondisi semacam ini sering kita alami karena manusia cenderung—meminjam istilah Heidegger--larut dalam keseharian. Keseharian membuat manusia mengalami kelupaan akan “ada”. Manusia akan tersadar kembali jika ada sebuah ke-kaget-an yang menimpanya, sebuah ke-kaget-an yang mempengaruhi suasana hati. Pada saat itulah manusia kembali tersadar bahwa dirinya mengalami keterlemparan.

Rindu seharusnya membawa kita pada sebuah keutuhan, bukan semakin menciptakan jarak. Kerinduan kita pada Tuhan, Rasulullah dan sang pujaan hati seharusnya mengantarkan kita pada sebuah perjuampaan, bukan semakin menciptakan keterpisahan.
Bersyukurlah orang-orang yang sering menghadapi masalah dan tidak lari dari masalah dalam hidupnya, karena masalah yang senantiasa mengingatkan kita akan sebuah ke-rindu-an, masalah yang mengajarkan kita akan arti sebuah ke-nikmat-an, dan masalah yang membimbing kita untuk senantiasa menghargai hidup dan senantiasa meningkatkan kualitas diri. Hakikat kehidupan adalah sebuah proses menjadi. Sebuah proses yang diperjuangkan [Hzr].

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Istana itu terkesan riil dihadapanku
Namun kenapa ia sukar untuk digapai
Apakah ia seperti bintang yang indah menghiasi langit malam
Namun tangan ini tak akan mampu menggapainya
Ia hanya mampu dinikmati
Bukan untuk dimiliki

Tapi, istana itu bukan bintang
Ia mampu digapai
Istana itu indah ditemani burung merpati dan padang bunga lili
Namun sekali lagi, kenapa?
Ia sukar untuk digapai

Apakah karena ia terlalu suci
Sehingga ia enggan berpijak dibumi
Ataukah memang hanya orang seperti aku yang menganggap istana itu riil
Dan orang-orang disekelilingku menganggapnya sebuah kegilaan
Harapan yang utopis

Al Hikmah Com., 16 Oktober 2006

----------------------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Kata maaf bukan untuk menghapus dosa
Namun sebuah penegasan bahwa ada dosa

Kata maaf bukan untuk sebuah pengampunan
Namun sebuah pengakuan akan kelemahan dan kesalahan

Kata maaf akan kehilangan kesakralannya jika terlalu sering diucapkan
Karena maaf bukan untuk diucapkan dengan kata
Namun dengan keikhlasan dan ketulusan hati

Apabila semua itu tidak ada
Maka sirna dan pergilah pendosa ini
Dengan penuh derita dan kehampaan

Al-Hikmah com., September 2006

----------------------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Mengetahui banyak hal sama beratnya dengan tidak mengetahui banyak hal.
Yang terbaik adalah, dapat merasakan dan dapat mengambil pilihan dengan tepat,
kapan untuk tahu dan kapan untuk tidak tahu.

Balikpapan, 20 Juli 2006
---------------------------------

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Rasa mengantarkan manusia menemukan kekuatan dalam kelembutan
Karena rasa
Manusia mampu membaca emosi
Karena rasa
Manusia mencandra kehidupan
Menggabungkan ying dan yang

Rasa
Membuat manusia sadar akan kelemahan dan kekurangannya
Rasa pula yang membuat manusia senantiasa mengalami keterpisahan
dan merindu akan keutuhan
Karena rasa memang harus digenapkan

Balikpapan, 21 Juli 2006

---------------------------------

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Menanti sesuatu yang tak pasti
Pencarian tak bertepi
Pengharapan akan sosok penabuh cinta
Datang membelai dinding hati yang gelisah

Imajinasiku melayang
Menari di atas awan
Hanyut bersama sang penabuh cinta

Rindu…
Menanti sebuah jawab dalam dekapan ragu
Pecah oleh ombak kesunyian

Oh…penabuh cinta!
Hadirlah malam ini
Dalam lelap tidurku

Balikpapan, 28 Juni 2006
----------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Bungan pertama ‘tlah sirna
Kelopaknya pupus helai demi helai oleh jemariku

Permadani persahabatan hadir mengganti
Hasil rajutan janji setia
Namun kembali sirna oleh pengkhianatan
Pedih meninggalkan luka
Bagai belati menggores hati

Adakah cinta yang benar-benar cinta?
Adakah persahabatan yang benar-benar persahabatan
Aku ragu…

Batinku tersiksa
Terpasung idealisme cinta dan persahabatan yang kubangun sendiri

Aku rindu aura bunga itu hadir kembali
Mengobati luka hidupku

Balikpapan, 20 Juli 2006
---------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Berat aku melupankanmu
Namun mengingatmu siksa batinku

Langit seakan menertawakanku
Mengejekku orang yang mudah dipermainkan

Oh…
Mampukan aku melupakan
Membunuh dan mengubur dalam-dalam semua kenangan tentangmu

Balikpapan, 20 Juli 2006

---------------------------------

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Gadis salju
Kau hadir membawa pesona

Keindahan berpadu
Bulan dan bintang tersenyum
Keutuhan tercipta lewat hadirmu

Gadis salju
Hadirmu sirnakan gelisah
Sepi dan luka lama terobati

Gadis salju
Surga dalam sangkar bahasa
Pena aksara buta
Lentera imajinasi

Gadis salju
Judul setiap bait puisi

Gadis salju
Aku terjatuh pada lembah pesonamu
Hanyut dalam pusaran kebisuan

Gadis salju
Izinkan aku mencintaimu
Walau engkau bukan yang pertama

Balikpapan, 15 Juli 2006

---------------------------------

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Biarkan aku menyimpan cinta ini
Karena aku sangsi dengan diriku sendiri

Biarkan aku menanti matahari terbit
Walau aku sadar malamku terlalu panjang dan pekat

Biarkan aku merindukan hujan
Walau aku sadar kemarau baru saja dimulai

Biarkan aku mengharapkan setetes air
Walau aku sadar gurun gersang mengitariku

Biarkan aku…
Biarkan aku berjalan menggapai cahayaku
Karena aku ‘tak mampu berlari lagi

Biarkan sunyiku menemani waktu
Hingga waktu pun sadar, bahwa berjalan juga melelahkan

Biarkan aku bermimpi tentang kita
Menemukan waktu yang tepat ‘tuk mengungkap cinta
Cintaku meronta mengharap sambutan cintamu

Tapi…
Biarkan aku menyimpan cintaku
Hingga waktu itu tiba
Karena cinta harus digenapkan

Balikpapan, 19 Juli 2006

---------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Entah sampai kapan
Engkau hadir dalam ingatan

Sungguh aku ingin melupakan semua kenangan
Tentang dirimu…

Seringkali kau menyakitiku
Memasungku dalam kepedihan

Slamat tinggal…

Balikpapan, 17 Juli 2006
---------------------------------

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Haruskah aku jatuh cinta lagi
Setelah beberapa kali gagal menggenapkan cinta

Pantaskah aku mencintainya
Sahabat yang selama ini dekat denganku
Setia dalam setiap suka dan dukaku

Balikpapan, 16 Juli 2006

---------------------------------

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Angin berhembus membisikkan namamu
Meniupkan bunga-bunga indah disekujur tubuhku
Menghempas sepi
Menjemput cahaya senyumanmu

Kasih…
Engkau bunga terindah yang kudapati

Balikpapan, 14 Juli 2006
---------------------------------

0 Komentar:

Thursday, October 19, 2006

WACANA

MENJAWAB MANDEKNYA GERAKAN KE-[MAHASISWA]-AN
(Upaya Mengembangkan Gerakan Mahasiswa Berbasis Keilmuan)


Muhammad Hatta (1979) pernah mengatakan bahwa kaum intelegensia Indonesia mempunyai tanggungjawab moral terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia duduk di dalam pimpinan Negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggungjawab itu. Sekalipun berdiri di luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah, dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.

Olehnya itu, mahasiswa memiliki tanggungjawab moral untuk selalu memberikan peringatan kepada para pemegang kekuasaan apabila melakukan menyimpangan dan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Mahasiswa telah mengukir sejarah panjang dalam menjalankan tanggungjawab moralnya sebagai kaum intelegensia.

Namun dalam konteks kekinian, gerakan kemahasiswaan mengalami sebuah kegamangan dalam melakukan misi-misi pembelaan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan (atau lebih tepatnya kaum yang dilemahkan dan dipinggirkan). Gerakan kemahasiswaan seakan dikebiri dan ditaklukkan oleh berbagai bentuk kebijakan—baik kebijakan negara maupun kebijakan birokrasi kampus--yang sengaja dikeluarkan untuk melemahkan gerakan kemahasiswaan. Sebagai contoh, diterapkannya konsep BHP di beberapa Perguruan Tinggi Negeri.

Kita perlu curiga bahwa ada sebuah kekuatan besar yang bermain dibelakang semua kebijakan-kebijakan tersebut dimana kebijakan-kebijakan tersebut bermuara pada sebuah tujuan untuk melemahkan gerakan mahasiswa. Basis gerakan mahasiswa ada di kampus, olehnya itu untuk melemahkan gerakan kemahasiswaan maka yang dilakukan oleh para penguasa adalah mengeluarkan berbagai kebijakan di tingkat Perguruan Tinggi. Sedikit saja mahasiswa melakukan perlawanan terhadap kebijakan borokrasi kampus, maka siap-siap saja mendapatkan sangsi (baik itu berupa surat scorsing atau pun surat DO). Sungguh menyedihkan dan menyakitkan!

Akhir Sejarah Gerakan Kemahasiswaan
Salah satu kekuatan kapitalisme sehingga pada detik ini kekuatannya tidak mampu diruntuhkan adalah adanya kemampuan reformasi diri yang dimiliki oleh kapitalisme, sehingga segala bentuk perlawanan yang menyerangnya selalu mampu dimodifikasi dan diinkorporasi.

Fenomena seperti ini pula yang di alami oleh gerakan kemahasiswaan. Segala bentuk perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa selalu dapat dipatahkan dengan berbagai cara. Kita harus akui bahwa media informasi saat ini dikuasai oleh penguasa, sehingga segala bentuk perlawanan opini yang dilakukan oleh mahasiswa selalu dibelokkan, yang lebih tampak pada aksi-aksi mahasiswa adalah kekerasan mahasiswa, bukan nilai atau pendidikan politiknya. Akibatnya, rakyat justru bersikap antipati terhadap gerakan kemahasiswaan.

Fenomena di dalam kampus misalnya dengan diterapkannya NKK-BKK (Normalisasi Kebijakan Kampus – Badan Koordinasi Kampus) dan saat ini mulai diterapkan BHP (Badan Hukum Pendidikan). Konsep NKK-BKK saja sudah melemahkan gerakan kemahasiswaan dengan adanya sistem DO, apalagi dengan adanya privatisasi kampus (Konsep BHP) yang ujung-ujungnya akan menyeret kampus-kampus negeri menjadi kampus-kampus swasta. Inilah yang kita namakan swastanisasi kampus negeri. Akibatnya, hal ini akan berimbas pada mahasiswa, misalnya saja semakin tingginya biaya perkuliahan sehingga akan menyeret paradigma mahasiswa menjadi akademic ansic. Mahasiswa akan kehilangan daya kritisnya karena waktu mereka dihabiskan hanya untuk memikirkan bagaimana caranya cepat selesai kuliah dan tidak berpikir lagi untuk berorganisasi dan menambah kapasistas intelektualnya, sehingga tanggungjawab moral intelengensia menjadi terabaikan.

Apabila gerakan kemahasiswaan tidak mampu mengatasi problematika diatas, maka tamatlah riwayat gerakan kemahasiswaan. Inilah akhir sejarah panjang gerakan kemahasiswaan. Namun bila kita masih ingin mengukir sejarah kemahasiswaan, maka teruslah melakukan perubahan dan perlawanan.

Basis Keilmuan; Sebuah Tawaran Solusi
Gerakan mahasiswa berbasis keilmuan tetap ditujukan untuk membangun sebuah komunitas masyarakat pro-perubahan yang akan mengusung revolusi sistemik demi terciptanya masyarakat yang beradab. Gerakan ini menjadikan intellectuality sebagai instrument perjuangannya.

Olehnya itu, untuk mewujudkan intellectuality agar dapat bermanfaat bagi gerakan, maka peranan dan fungsi-fungsi gerakan intelektual harus dikembangkan dari paradigma epistemologis menjadi konsep yang berbasis gerakan keilmuan. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan dekonstruksi sistem pemikiran sekuler yang berkembang diperguruan tinggi sekaligus melakukan rekonstruksi gerakan ke-arah pemikiran-pemikiran keilmuan (Cahyo Pamungkas, 2005).

Secara sederhana, rekonstruksi gerakan dilakukan dengan menggeser paradigma gerakan kemahasiswaan. Pergeseran paradigma gerakan ini meliputi beberapa hal. Pertama, Paradigma Oposisi Total harus digeser menjadi Kritis-Konstruktif. Dalam mengartikulasikan kepentingan eksternal lembaga kemahasiswaan ditempuh melalui jalur dialog dan diplomasi terhadap lembaga politik resmi seperti birokrasi, legislatif dan lain sebagainya.

Proses demokrasi yang berjalan memungkinkan terjadinya dialog antara gerakan rakyat dengan aktor-aktor institusi Negara yang pro-reformasi. Hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan kooptasi Negara tetapi menjadi penekan kebijakan agar Negara mampu mengakomodasi kepentingan rakyat (Cahyo Pamungkas, 2005).

Ini berarti bahwa aksi massa hanya akan dilakukan untuk isu-isu yang betul-betul sangat penting. Olehnya itu mahasiswa harus memiliki kemampuan untuk memproduksi ide dan gagasan. Pada wilayah ini, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan untuk menjadi creative minority dari pada menjadi pemimpin massa.

Kedua, Gerakan Intelektual mahasiswa di wilayah Epistemologis digeser ke wilayah Akademis. Gerakan intelektual diwilayah Epistemologis harus dikembangkan sampai kewilayah Akademis, sehingga mampu kembali membangun basis akademik bervisi profetis. Ini berarti bahwa ide dan gagasan intelektual mahasiswa bersentuhan langsung dengan masyarakat akademis (kampus). Untuk itu perlu dibangun Intelektual-Akademisi yang bervisi sosial profetis. Pada wilayah ini mahasiswa harus cerdas secara akademik, bervisi profetis, serta memiliki visi kepedulian sosial yang tinggi dan kemampuan praksis pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan

Ketiga, Ketergantungan Finansial digeser menjadi Mandiri dan Independen. Pada konteks ini, lembaga kemahasiswaan membangun kemandirian dalam hal perumusan ide dan gagasan (independensi secara sosial politik) dan kemandirian keuangan (independensi secara sosial ekonomi). Ini berarti lembaga kemahasiswaan harus bisa mebangun kerjasama dengan lembaga donasi yang tidak mengikat (kebijakan fund-raising). Olehnya itu mahasiswa ditintut memiliki Jiwa Enterpreneurship, pada wilayah ini mahasiswa memiliki kemampuan ‘kewirausahaan’ dalam bentuk keahlian praktis seperti kreativitas, kemandirian, teknik komunikasi seperti loby, membangun networking, negosiasi dan lain sebagainya

Setiap fase perjuangan mahasiswa memiliki konteks yang berbeda dimana mereka menghadapi tantangan yang berbeda pula. Pada hari ini kita menghadapi sebuah kondisi yang berbeda dengan gerakan kemahasiswaan pada tahun-tahun sebelumnya. Olehnya kita harus mampu mengatasi segala tantangan gerakan pada hari ini dan esok, dengan tetap menjadikan hari kemarin sebagai pelajaran. Kita juga harus berani melakukan sebuah perubahan atau pergeseran paradigma gerakan, jika memang kita telah merasakan bahwa paradigma gerakan kemahasiswaan selama ini tidak lagi mampu menjawab tantangan hari ini.

Tentunya kita mengharapkan wibawa dan citra gerakan kemahasiswaan akan tetap terjaga dimata rakyat, dan 10 sampai 20 tahun kedepan kita mengharapkan adanya sebuah perubahan yang mendasar, sebuah perubahan sistemik di Negara kita.
Semoga perubahan-perubahan pola gerakan yang kita lakukan mampu menjawab mandegnya gerakan kemahasiswaan hari ini. [Hzr]

2 Komentar:

NYANYIAN HATI

Jarak telah menciptakan rindu
Ia juga menuai ragu

Rindu kadang menyiksa saat ragu bergejolak
Ragu menjadi bunga saat rindu bertemu jawabnya

Keyakinan akan kesetiaan bagai dewi penyejuk jiwa
Rindu dan ragu adalah cahaya
Jembatan menuju kesempurnaan cinta

Balikpapan, 20 Juni 2006

--------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Orang biasa atau luar biasa hanyalah persepsi manusia
Ia tidak terlepas oleh ruang dan waktunya masing-masing

Ia lahir dari kecocokan jiwa
Yang dipancarkan oleh suasana hati

Suasana hati akan semakin bercahaya
Bila manusia senantiasa melakukan refleksi diri
Dan mempertanyakan : untuk apa dia ada?

Balikpapan, 16 Juni 2006

--------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Jangan pernah menilai cinta, kasih sayang, keikhlasan, kesabaran dan ketulusan dengan angka-angka
Angka-angka tidak akan pernah mampu menyingkap hakikat kehidupan

Sekuntum bunga tidak sekedar benda biologis
Namun memiliki makna kasih sayang yang suci

Hidup adalah proses menjadi
Dewasa…dewasa…dan terus bertambah dewasa
Menuju keutuhan dan kesempurnaan

Balikpapan, 15 Juni 2006

-------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Bersabar…
Meminta maaf butuh waktu dan ketulusan
Begitu pula memaafkan
Terkadang membutuhkan waktu yang lama
Agar ia betul-betul tulus memaafkan
Meminta maaf dan memaafkan bukanlah sekedar ucapan
Namun lebih dari itu
Ia harus sejalan dengan sikap dan perbuatan

Balikpapan, 15 Juni 2006

---------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Baru beberapa jam aku pergi jauh
Namun aku sudah merindukan kalian
Apakah kalian juga merasakan perasaan yang sama!

KM. Kerinci 13 Juni 2006

--------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Kenangan…
Aku tidak ingin mengingatnya lagi
Aku sering tersiksa karenanya
Aku harus menguburnya


Sekarang…
Digenggamanku hanya ada harapan
Sekecil apapun itu
Harapan adalah aura kehidupan

KM. Kerinci, 13 Juni 2006

--------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Saat engkau kehilangan sekeping uang koin
Mungkin itu tidak berpengaruh apa-apa bagimu
Namun coba renungkan
Suatu saat nanti
Engkau akan merasakan
Betapa berartinya uang koin itu dalam hidupmu

Griya Azalia, 9 Juni 2006

--------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Cinta dan benci
Mempunyai potensi yang sama untuk saling membunuh
Kematian benci adalah tanda dekadensi
Kematian cinta adalah tanda kehampaan
Biarkan cinta dan benci berjalan apa adanya
Karena ia saling melengkapi
Jagalah ia agar seimbang
Harmonis dalam rengkuhan kedamaian

Griya Azalia, 9 Juni 2006

--------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Detik demi detik
Hilang ditelan lamunan
Menanti sebuah janji
Yang hingga ini belum menampakkan wajahnya
Lesu…
Bosan…
Namun aku masih menunggu
Hingga detik pun melumat kesabaran

Tepi danau Unhas, 8 Juni 2006

-----------------------------------------

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Petikan dawai hati
Merdu melantunkan syair kesunyian
Berpendar menerobos kebekuan
Pecah oleh senyum bidadari kecil
Lembut, menyapa kerinduan

Biat teman baruku: Lia

Griya Azalia, 7 Juni 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Imajinasi tak berjejak
Sayup-sayup menyusuri hati yang gelap nan gundah
Pilihan terkadang menyiksa
Dan waktu kian garang menghempas kesabaran
Aku butuh setitik cahaya…

Griya Azalia, 6 Juni 2006

--------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Jodoh…
Adalah pertautan antara pencarian dan penantian

Takdir…
Adalah puncak dari harapan dan ketulusan

Nasib…
Adalah samudera ketenangan dan ketegangan
Silih berganti membelai dinding hidup

Hidup…
Adalah gerak chaos
Meronta penuh harapan

Griya Azalia, 5 Juni 2006
------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Larut dalam keseharian
Lupa akan diri
Lupa akan “Ada”
Ketegangan…
Kecemasan…
Takut…
Hentakan…
Ancaman…
Patahan…
Kesendirian…
Menyadarkanku dari kelupaan
Yang rindu bertemu “Ada”

Griya Azalia, 31 Mei 2006
-------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Bila kau marah padaku
Lukislah diriku di atas pasir
Lalu injak-injaklah sepuasmu
Sampai berantakan
Tinggalkan ia sendiri
Lebur diterpa angin
Sirna bersama hujan
Dan ukirlah cerita baru


Griya Azalia, 31 Mei 2006
----------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Ada rasa disudut hati
Kecil namun bertenaga
Saat mendengar dia akan pergi
Ia menjerit
Ia takut berpisah dengannya
Ia takut kehilangannya
Namun ia sadar
Ia belum mampu mencintainya seutuhnya

Griya Azalia, 31 Mei 2006

-----------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Kembali aku terpuruk
Tersungkur dihadapan angka-angka
Angka-angka yang menjelma Tuhan
Sembahan para mahasiswa

Padahal…
Kesuksesan tidak tunduk pada angka-angka
Kebahagiaan tidak berada dibawah angka-angka

Bahkan…
Angka-angka tidak punya bentuk
Saat dipakai menyunting bidadari
Bidadari hanya mau dua hal
Setumpuk uang dan segenap cinta

Griya Azalia, 31 Mei 2006

------------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Menyusuri rentetan waktu
Bertanya pada hati
Apakah aku benar-benar mencintainya!
Apakah ini bukan sebuah kebohongan!
Nafsu bertopeng cinta
Hanya cinta sesaat

Perhatianku padanya,
Benarkah ia cinta!

Sayangku padanya,
Benarkan ia cinta!

Senyumku padanya,
Benarkah ia cinta!

Aku ragu,
Benarkah ragu itu nafsu!

Griya Azalia, 31 Mei 2006

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Aku rindu kematian
Lalu terlahir kembali
Hidup ditengah hutan belantara
Bersama gubuk kayu
Ditemani seekor merpati putih
Yang senantiasa menjelma bidadari surga

Griya Azalia, 30 Mei 2006

------------------------------------

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Ada hasrat diri untuk pergi
Namun suara-suara itu!
Wajah-wajah itu!
Ratapannya…
Keluhannya…
Senyumannya…
Canda tawanya…
Bagaikan tongkat peri penyayang
Yang memancarkan keindahan
Membawaku diam sejenak
Mempertanyakan akan ke-ber-ada-an-ku
Mengikatku dalam alunan dawai cinta
Menempatkan aku pada permadani merah
Hingga aku tak sadar
Pergi telah meninggalkan aku

Griya Azalia, 30 Mei 2006

------------------------------

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Malam ini
Kembali aku termenung
Tersiksa
Kesadaran enggan hilang dalam lelap tidur
Memikirkan nasip yang kian terpuruk
Meronta
Mengharap belas kasih
Tertekan
Mengharap sesuatu yang tak pasti
Karena yang pasti sebenarnya fana
Menipu
Mencekik leher kurus yang sekarat
Karena yang pasti hanyalah ketidakpastian

Griya Azalia, 30 Mei 2006
------------------------------------

0 Komentar:

Wednesday, October 18, 2006

WACANA

Simbolitas Tubuh
dan Ekspresi Seksualitas


Ketika tubuh hadir dihadapan khalayak, maka aspek seksualitas akan ikut menari didalamnya. Seksualitas tidak akan membiarkan tubuh berbicara sendiri, ia (seksualitas) senantiasa ambil bagian dalam setiap geliat tubuh. Tubuh telah menjadi penanda penting bagi seksualitas dalam mengekspresikan dirinya.
Tubuh dan seksualitas berada dalam tarik menarik yang kompleks. Ia dibahas dan diterapkan dengan ambiguitas yang rumit pula. Di satu sisi, ia dipandang dengan kacamata tata nilai, norma, dan simbol-simbol tertentu yang abstrak dan penuh dengan sekat-sekat kebenaran, sehingga terciptalah dikotomi hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, halal-haram, dan lain sebagainya. Disisi lain, tubuh dan seksualitas mewujud dalam bentuk-bentuk yang telanjang dan sensasional sehingga dapat dinikmati dengan begitu bebas dan terbuka di setiap sudut kehidupan masyarakat.
Tubuh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, namun telah melekat atau dilekati oleh berbagai identitas tertentu. Tubuh bukanlah sebuah satuan tulang dan daging belaka, namun telah menjelma jejaring yang menyimpan berbagai simbol dan makna.

Tubuh sebagai penjara jiwa
Diskursus tentang tubuh sebagai penjara jiwa telah lama meresahkan para pemikir-pemikir Yunani kuno. Meraka mencoba mengungkap makna tubuh, dimana pada masa itu ada sebuah aliran yang didirikan oleh Orpheus yang mengatakan bahwa “tubuh adalah kuburan bagi jiwa” (the body is the tomb of the soul). Bahkan anggapan tersebut mengilhami filsafat para filosof seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Namun, pandangan para pemikir Yunani kuno tersebut berbeda dengan para pemikir Romawi yang sangat percaya dengan astrologi. Mereka tidak menganggap tubuh adalah sesuatu yang negatif, namun memandang tubuh dan jiwa sebagai bagian dari kosmis.
Pada masa renaisans, pemahaman tentang tubuh mulai bergeser. Tubuh dianggap sebagai sesuatu yang indah, bagus, personal, privat, dan sekuler. Pada masa pramodern, tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius. Dan pada konteks kekinian, perbincangan mengenai tubuh masih tetap hangat untuk di diskusikan. Dualisme antara jiwa dan tubuh masih menunjukkan keangkuhannya, menyeret kita pada pemahaman yang lebih kompleks, sehingga semakin sulit untuk dipahami dan dimengerti. Saat ini tubuh tidak lagi berbicara tentang fisik, namun tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat.[1]
Mary Douglas dalam bukunya Purity and Danger (1996) mengatakan, bahwa sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu. Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat. Tidak ketinggalan, Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga, yaitu: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam, masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.[2]
Untuk memahami tentang jiwa lebih jauh, psikoanalisis[3] Sigmund Freud bisa kita gunakan sebagai pisau analisis untuk membedahnya. Dengan demikian kita akan mampu menemukan relevansi antara tubuh dan jiwa (seksualitas) dan juga menemukan makna tubuh dalam konteks psikoanalisis.

Perkembangan tubuh; Perkembangan seksualitas
Secara sederhana, tubuh mengalami beberapa tahap pertumbuhan, mulai dari bayi, anak-anak, hingga dewasa. Sejalan dengan perkembangan tubuh, seksualitas pun mengalami masa pertumbuhan atau pendewasaan. Selama ini mungkin kita memahami bahwa perkembangan seksualitas dimulai pada masa puber, namun pada dasarnya perkembangan seksualitas sudah dimulai sejak kanak-kanak (bayi).
Seksualitas masa bayi, telah ada jauh sebelum organ-organ kelamin mendominasi kehidupan seksual; atau dengan kata lain, seksualitas masa bayi adalah satu elemen penting dari “tatanan pragenital” dari libido. Seksualitas seperti ini juga melibatkan bagian-bagian tubuh, atau disebut libido sebagai “zona erotogenik” yang bisa menjadi wadah bagi eksitasi-eksitasi yang menyenangkan. Zona-zona seperti ini bisa berasa di bagian-bagian kulit tertentu, atau pada selaput lendir yang mampu memberikan sumber kepuasan atau kesenangan. Seorang anak melewati tahap-tahap yang saling meliputi satu sama lain, dimana secara berurutan suatu zona erotogenik pertama mendominasi dan kemudian digantikan oleh zona lainnya[4]. Fase-fase seksualitas yang dilewati pada masa kanak-kanak adalah fase oral[5], fase anal[6], dan fase phallic[7].
Setelah fase oral, anal dan phallic, ada sebuah fase berikutnya yang juga merupakan bagian dari tahap perkembangan seksualitas, yaitu kompleks aedipus atau aedipus complex, dan kemudian fase laten. Sesudah berakhirnya masa laten, kehidupan seksual maju sekali lagi bersama dengan masa remaja (puber), atau dapat kita katakan kehidupan seksual mengalami pemekaran yang kedua. Disini kita menjumpai fakta bahwa permulaan kehidupan seksual itu dwifase, bahwa kehidupan seksual terjadi dalam dua gelombang—sesuatu yang tidak diketahui, kecuali pada manusia, dan jelas mempunyai pengaruh yang penting pada hominisasi[8].
Dari keterangan diatas kita dapat memahami bahwa tubuh dan seksualitas adalah sesuatu yang menyatu, namun kita juga perlu curiga atas pandangan tersebut karena kita belum bisa mengungkap dengan gamblang, apakah perkembangan tubuh yang mempengaruhi perkembangan seksualitas ataukah sebaliknya, perkembangan seksualitas yang sebenarnya mempengaruhi perkembangan tubuh.

Ekspresi tubuh; Ekspresi seksualitas
Ungkapan Mary Douglas yang mengatakan bahwa sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu, perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mengantarkan kita pada jawaban, apakah seksualitas adalah ekspresi tubuh ataukah tubuh yang merupakan ekspresi dari seksualitas? Untuk menjawabnya, mungkin kita perlu mengkaji terlebih dahulu fenomena yang ada disekeliling kita.
Sebagai contoh, saat kita melihat sosok dari lawan jenis (entah itu laki-laki yang memandang sosok perempuan, ataupun perempuan yang memandang sosok laki-laki --lebih-lebih pada sebuah “ketelanjangan”), dalam kondisi seperti itu, aspek apa sebenarnya yang bermain? Apakah ia lahir dari aspek fisik ataukah ini berasal dari aspek mental yang bersembunyi di dalam tubuh dan meronta ingin menampakkan wajahnya!
F. Budi Hardiman dalam salahsatu esainya pernah mengajukan sebuah pertanyaan, apakah sebenarnya yang dilihat oleh seorang pecinta pada tubuh kekasihnya saat mereka bercinta? Dia menjelaskan bahwa

Pandangan atas tubuh yang dihasrati, entah berselubung ataupun telanjang, adalah suatu persepsi akan bentuk. Tubuh itu adalah bentuk yang hadir, seperti setiap bentuk lainnya di dunia ini. Namun, sesungguhnya bukanlah bentuk yang ia lihat, melainkan suatu kehadiran, kehadiran dari seorang manusia dari jenis yang lain yang membuatnya merasa menyeluruh. Sebuah pelukan penuh hasrat pada tubuh itu segera mengubah kehadiran menjadi seonggok materi yang memadati ruang yang terbentuk dalam jangkauan lengan.

Perlahan persepsi atas materi berubah menjadi pelukan kehadiran, manakala disadari bahwa setiap fragmen ruang tubuh itu dari mata, bibir, payudara, sampai pada vulvanya mengacu pada suatu tubuh sebagai suatu keutuhan yang menyeluruh dan keseluruhan yang utuh. Tubuh pun berhenti sebagai bentuk. Batas-batas geometrisnya raib ketika tubuh itu tersebar oleh isapan hasrat keduanya. Dalam denyut gairah yang memuncak, tubuh yang satu lumat ke dalam tubuh yang lain dan memulihkan diri menjadi samudra sensasi. Sebuah pandangan erotis adalah suatu hasrat pengutuhan dengan siapa yang dipandangnya.

Anggapan bahwa erotik itu identik dengan seks sangatlah meragukan. Tentang erotik Octavio Paz menulis begini: "Manusia melihat dirinya dalam seksualitas. Erotik adalah pantulan penglihatan manusia dalam cermin alam…. Erotik adalah tiruan belaka atas seksualitas: Ia adalah metafora seksualitas…. Yang erotis itu imajiner: Percikan imajinasi di hadapan dunia luar. Apa yang ditangkap oleh erotik adalah manusia sendiri, dalam bidang citranya, dalam bidang kediriannya...

Manusia makan tidak dengan mencaplok, tetapi dengan menyantap, dan santapan berlangsung lewat lika-liku seremonial dan ritual yang-entah sederhana ataupun rumit-memuaskan bukan hanya rasa lapar, melainkan juga kebutuhan untuk bersosialisasi dan untuk mewujudkan suatu nilai. Demikian juga erotik adalah sebuah upacara-bukan upacara publik, melainkan upacara interpersonal dalam ruang intim. Paz menyebutnya "suatu seremoni yang berlangsung di belakang punggung masyarakat". Erotik juga tidak sama dengan cinta yang cakupannya melampaui erotik, namun leluhur tertua dari keduanya adalah seks.

Ciri "lebih" yang bersemayam dalam erotik itulah yang memanusiawikan seksualitas. Dan karena manusia itu naluriah sekaligus melampaui naluri, erotik juga bukan sekadar pemuasan hasrat seksual. Penangguhan hasrat ragawi yang meronta-ronta untuk dilepaskan kerap memberi percikan erotis pada tubuh yang memikul beban gairahnya sendiri. Karena itu, erotik juga sebuah permainan gairah dalam rumah imajinasi. Penangguhan pelepasan hasrat dan pengabulannya, pencapaian kepuasan dan munculnya gairah baru-lingkaran hasrat akan tubuh yang ingin dinikmatinya itu tak habis-habisnya menghasilkan dahaga baru.

Rasa kekurangan ini dipicu oleh imajinasi yang silih berganti masuk melalui tatapan erotis pada "yang lebih". Dia-tubuh sang kekasih dan tatapan matanya ke dalam jendela jiwa sang penatap-adalah lebih daripada onggokan materi. Erotik adalah lebih daripada sekadar interseksi hormonal. Ia adalah interseksi personal dalam ruang intim yang tercipta oleh pengalaman kebertubuhan. Interseksi personal itu dalam erotik tidak "menghabisi" keduanya, sehingga "yang lebih" terus saja muncul menimbulkan dahaga.
[9]

Dari penjelasan diatas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan awal bahwa ternyata, tubuh dan seksualitas adalah sesuatu yang utuh, ia tidak terpisahkan dan tidak dapat dipisahkan. Tubuh menyimpan pusaran erotis yang mampu memicu gelora hasrat. Tubuh dapat mengenal dirinya dalam seksualitas, dan seksualitas adalah sesuatu yang manusiawi.
Didalam tubuh tersembunyi sebuah kekuatan (hasrat seksual) yang penuh misteri dan sulit untuk diketahui besarnya kekuatan tersebut secara matematis, karena kekuatan itu hanya dapat dirasakan, ia adalah pengalaman pribadi seseorang. Ekspresi tubuh adalah ekspresi seksualitas, tubuh adalah ruang bagi seksualitas untuk mengekspresikan dirinya.
Namun, dari manakah datangnya hasrat seksual? Apakah ia adalah fitrah dan anugerah yang diberikan Tuhan pada ciptaannya yang bernama manusia? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Jawaban bahwa hasrat adalah fitrah dan anugerah yang diberikan Tuhan pada manusia adalah jawaban yang hampa bagi sekelompok orang yang suka “bertanya” dan tidak mudah puas.
Pada diri manusia ada aspek mental dari energi seksual yang mendasari berbagai perubahan dalam dorongan seksual, yang kita kenal dengan istilah libido[10]. Libido dalam pandangan Freud juga berkaitan dengan sifat cinta dan keinginan, atau nafsu dan hasrat seksual, dan disini, Freud beralih dari pertimbangan-pertimbangan ilmiah murni menuju bidang emosi manusia yang cukup sulit. Seperti yang ditulisnya,

Libido adalah ekspresi yang diambil dari teori tentang emosi. Kami menamakannya sebagai energi, yang dianggap sebagai suatu besaran kuantitatif (meskipun saat ini belum bisa diukur), dari dorongan-dorongan yang berkaitan dengan segala sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan menggunakan kata “cinta”.
[11]

Sederhananya, kita berbicara tentang “rasa lapar” terhadap dorongan-dorongan untuk memperoleh makanan, demikian juga dengan dorongan-dorongan seksual, kita bisa berbicara tentang libido atau “kelaparan seksual”.
Hasrat seksual sangat dipengaruhi oleh permainan persepsi kita akan bentuk (tubuh). Setiap individu memiliki persepsi akan bentuk (tubuh) yang berbeda-berbeda, hal ini sangat dipengaruhi oleh konteks ruang-waktu yang melingkupi dan mengkonstruk pikirannya. Persepsi akan tubuh, bagi orang-orang metropolis (modern) tentu berbeda dengan persepsi orang-orang pedalaman[12] (orang-orang primitif—dalam definisi orang modern) yang belum dipengaruhi oleh efek modernis.
Saya belum mengetahui banyak seperti apa sebenarnya persepsi orang-orang pedalaman akan tubuh. Bagaimana persepsi mereka tentang cantik atau gagah? Apakah hasrat seksual mereka akan bergejolak saat mereka melihat tubuh yang “terbuka”? Bagaimana reaksi mereka saat melihat Inul yang sedang berjoget atau diperlihatkan foto-foto artis yang “telanjang”? Entahlah! Namun sejauh pengetahuan saya, walaupun orang-orang pedalaman tidak menggunakan baju atau sesuatu yang menutupi seluruh tubuhnya, namun mereka masih menutupi bagian-bagian tubuh tertentu. Bagian-bagian tubuh tertentu yang ditutupi itulah yang saya curigai mampu mempengaruhi hasrat seksual mereka.
Bagi orang-orang metropolis (modern), persepsi mereka akan tubuh adalah seksual. Bagian-bagian tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung jari bisa mempengaruhi hasrat seksual seseorang. Ditambah lagi dengan pesatnya teknologi informasi, membuat persepsi kita akan tubuh yang pada dasarnya adalah sesuatu yang sifatnya personal menjadi sesuatu yang massal. Teknologi informasi dengan seketika mampu memainkan imajinasi dan menyatukan definisi cantik atau gagah.
Setelah bosan—dengan tidak mengabaikan adanya sebuah kuasa yang bermain dibelakangnya—tenologi informasi menjadi alat untuk menggeser dan mengganti definisi cantik atau gagah. Hal inilah yang berpengaruh cukup besar atas bergesernya persepsi kita akan tubuh (walaupun masih ada sebagian orang yang tidak terpengaruh—atau mungkin pura-pura tidak terpengaruh—atas persepsi orang banyak tentang tubuh, dia memiliki persepsi tersendiri akan tubuh yang berbeda dengan orang kebanyakan). Namun yang pasti, apapun persepsi kita akan tubuh, selalu saja tubuh (seluruh atau beberapa bagian tubuh) menjadi simbol seksualitas.

Seksualitas, Ke-mati-an Tabu dan Moralitas
Dalam hubungannya dengan alam, masyarakat dan kebudayaan, dan juga hubungannya sebagai kontrol sosial dan politik, seksualitas ditempatkan pada posisi yang cukup penting. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat dan merasakan adanya berbagai larangan yang membatasi ruang gerak tubuh. Pada dasarnya bukan ruang gerak tubuh yang dibatasi namun ekspresi seksualitas lah yang dibatasi. Mengapa ekspresi seksualitas perlu dibatasi? Hal ini sangat dipengaruhi oleh sebuah sistem purba namun masih disakralkan oleh beberapa suku atau bangsa hingga saat ini, sistem itu kita kenal dengan istilah tabu.
Tabu adalah larangan yang sangat kuno yang pada suatu ketika diberlakukan pada suatu generasi masyarakat primitif dan larangan ini tanpa asal, mungkin generasi yang sebelumnya yang memberlakukan larangan ini atas mereka. Larangan ini berkenaan dengan tindakan-tindakan yang mengandung keinginan yang kuat. Larangan ini terus hidup dan mempertahankan dirinya dari generasi ke generasi, mungkin ia akibat tradisi yang disusun oleh satu penguasa paternal dan sosial. Tetapi, pada generasi berikutnya, mungkin larangan ini telah “terorganisir” mengkaji suatu kualitas psikis yang diwariskan.
Apakah memang ada “gagasan-gagasan bawaan” atau apakah fiksasi tabu ini terjadi dengan sendirinya atau dengan jalan pendidikan, dalam kasus ini tidak ada satu orang pun yang tahu. Meskipun demikian, kenyataan bahwa tabu itu terus hidup menunjukkan satu hal, yaitu bahwa kenikmatan asali untuk melakukan hal-hal yang terlarang itu masih terus berlangsung dikalangan bangsa-bangsa yang menganut tabu. Jadi, mereka memiliki sikap ambivalen terhadap larangan tabu mereka sendiri; di alam ketaksadaran, mereka sangat suka melanggarnya, tetapi mereka juga takut melakukannya; mereka takut karena mereka ingin melanggarnya, dan rasa takut itu lebih kuat dari pada kenikmatan.
Tetapi, dalam diri setiap orang di bangsa itu, keinginan terhadap hal yang dilarang itu bersifat taksadar, seperti dalam diri seorang neurotik. Larangan tabu yang paling tua dan penting adalah dua hukum dasar totemisme: yaitu jangan membunuh binatang totem, dan hindari hubungan badan dengan lawan jenis dari kelompok totem yang lain[13].
Indikasi terhadap dorongan untuk melanggar tabu atau melakukan inses, mulai dapat kita rasakan dalam kehidupan masyarakat kita saat ini. Kita sering mendengar ada anak yang memperkosa ibunya dan ada ayah yang memperkosa anak gadisnya, itu baru yang terungkap oleh media, bagaimana dengan yang tidak! Hal ini semakin meyakinkan kita bahwa dibalik adanya “ketertutupan” (larangan yang kuat), ada sebuah dorongan untuk “memberontak” (melanggar larangan). Semakin kuat “ketertutupan” maka semakin kuat pula potensi “pemberontakan”. Apakah ini juga mengindikasikan bahwa tabu telah menemui ajalnya, tabu telah mati.
Jika tabu telah mati, bagaimana nasip moralitas! Apakah moralitas akan mati seiring dengan kematian tabu? Jawabannya TIDAK. Moralitas atau etika lahir dari refleksi tentang seksualitas, keinginan serta kenikmatan. Dalam tindakan seksual seseorang manusia menyadari diri sebagai makhluk seksual. Disana dia juga menyadari relasi dengan orang lain. Lebih dari itu dalam setiap praktik seksual seseorang manusia sebenarnya membentuk suatu sikap seksual, yaitu kesadaran akan kebebasan, tanggungjawab dan pilihan moral, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Seks adalah satu soal privat dan dapat menyadarkan setiap individu akan siapakah dia, apa yang dia buat dan sejauh mana ia memiliki keinginan dan nafsu. Dalam kesadaran ini kita tidak pernah akan menipu diri kita dalam pelbagai praktik seksual kita.
Dalam pandangan Yunani Klasik, seks bukannya sesuatu yang buruk sebagaimana paham agama kristen pada masa lalu. Seks adalah sesuatu yang natural, baik dan mendatangkan kenikmatan (pleasure) dan ini sangat perlu dalam praktik diri. Bagi mereka praktik seksual tidak ditempatkan dalam konteks universal. Setiap individu harus menentukan pola objek dan praktik seksual mereka sendiri.
Dalam kebudayaan ini kenikmatan seksual dan aktivitas seksual menjadi perhatian moral lebih dari pelbagai isu lain karena seks adalah objek dari pelbagai larangan dan pelanggaran terhadapnya bisa sangat berbahaya. Jelas seksualitas penuh dengan nuansa etis-moral. Immoralitas dalam seks tampak bukan dalam seks itu sendiri, melainkan dalam pasivitas dan ekses dalam praktik-praktiknya[14].
Seks sebagai urusan kelamin tak pernah kehabisan atau kehilangan daya sensasionalnya bagi siapa pun dan di zaman apa pun. Selalu ada saja perkembangan-perkembangan baru dalam fenomena seks sebuah masyarakat, meski sexual act yang mendasar sebenarnya hanya begitu-begitu saja. Tapi memang manusia seluruhnya adalah seksual. Seluruh tingkah lakunya selalu diresapi oleh identitas seksnya, yakni gradasi kelelakian (jika ia lelaki) atau keperempuannya (jika ia perempuan).
Implikasinya kemudian adalah terjalinnya korelasi secara otomatis antara seksualitas dengan serangkaian konteks sosial yang melingkupimya. Seks pun lalu jadi sebuah fenomena yang multidimensional, dan hal inilah yang membuat seks menjadi potensial untuk “bercerita” dan mengungkap tentang sosok manusia. Karenanya, mempelajari fenomena seks adalah mempelajari fenomena manusia seutuhnya[15].
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa persoalan tentang praktik seksual tidak bisa ditempatkan dalam konteks universal, ada sebuah tradisi dan kebudayaan dari masing-masing lokalitas tertentu yang melingkupi dimana tubuh (manusia) memijakkan kakinya. Sehingga, setiap individu harus menentukan pola objek dan praktik seksual mereka sendiri sesuai dengan tradisi dan kebudayaan yang dianutnya.
Semoga kita senantiasa mampu menjaga moralitas dengan selalu melakukan reflesi diri, sehingga kita selalu sadar bahwa kita adalah makhluk seksual yang mau tidak mau juga harus membangun relasi dengan orang lain. Relasi-relasi inilah yang kita harapkan akan membangun moralitas. Sebuah moralitas yang menjaga keseimbangan antara alam, masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, tubuh dan seksualitas tidak menjadi momok yang menakutkan, namun dapat dijadikan sebagai kontrol sosial-politik [@]


Catatan Kaki
---------------

[1] Lazuardi. Luna, Studi Tubuh, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
[2] Lazuardi. Luna, ibid, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
[3] Freud menciptakan istilah psikoanalisis pada tahun 1896 sesudah perjuangan lama menggarap gagasan-gagasannya tentang sebab musabab neurosis dan gangguan-gangguan mental lainnya. Kita dapat mengatakan bahwa psikoanalisis secara kasar terdiri dari tiga bidang, yaitu :
a. Suatu cara terapi yang bertujuan untuk meringankan beban batin orang, berdasarkan pada teori-teori tentang alam tak sadar dan penafsirannya;
b. Suatu teori menyeluruh tentang bagaimana kepribadian manusia berkembang dan berfungsi;
c. Seperangkat teori tentang bagaimana manusia dan masyarakat berfungsi, atas dasar dua bidang di atas untuk memahami peradaban.
Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
[4] Kennedy, Roger. Libido; Seri Gagasan Psikoanalisis. Hal. 44. Penerbit: Pohon Sukma, Cetakan I, April 2003. Yogyakarta.
[5] Dalam perkembangan ini fase awal berpusat di sekitar mulut. Kita perlu melihat bagaimana daerah erotogenik ini terbentuk. Pertama-tama,daerah ini berkaitan erat dengan fungsi somatis yang vital, yaitu menyusui. Kemudian timbul perasaan senang dengan daerah itu. Selanjutnya, muncul kebutuhan untuk mengulangi perasaan senang atau keinginan itu. Menyusu buah dada ibu merupakan titik awal seluruh kehidupan seksual. Buah dada adalah objek cinta yang pertama. Kesenangan awal itu mempunyai bermacam-macam bentuk. Mengisap ibu jari. Menurut Freud, adalah contoh kegiatan seksual kanak-kanak yang paling sederhana dan dini. Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
[6] Kesenangan anal yang paling sederhana adalah mengosongkan isi perut atau “membuat angka 2”, kata para ilmuan. Anak dapat memperoleh kepuasan dengan melakukan perbuatan itu bagi orang tuanya, dengan memberi mereka suatu hadiah atau menahannya jika jika tidak mau memberikan hadiah itu. Tindakan menahan ini dapat menjadi fiksasi, suatu karakter bercorak anal, dan hubungan antara uang dan tinja telah kerap kali dilihat. Menahan hadiah atau memberikannya menjadi bercampur dengan perasaan-perasaan mengenai ibu dan bapak. Dan jika seluruh urusan tidak ditangani dengan semmestinya, orang dapat terhenti pada perilaku anal ini (ungkapan Inggris tight-arsed adalah tepat dari segi psikoanalisis untuk melukiskan orang yamng kikir). Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
[7] Ini adalah fase ketika anak menjadi sadar akan daerah genitalnya (alat kelaminnya) setelah beralih dari fase oral dan fase anal. Freud menyatakan bahwa anak hanya mengetahui satu organ genital, yaitu phallus (zakar), dan dengan demikian anak laki-laki dan anak perempuan berlawanan dalam arti ber-phallus atau terkebiri. Anak laki-laki dan anak perempuan kerap kali tampak menyujai fase phallic ini. Mereka bermain secara krestif dengan diri mereka sendiri dan saling memandang. Untuk pembahasan lebih jauh, baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
[8] Baca FREUD Untuk Pemula, karya Richard Osborne, Penerbit Kanisius, 2000. Yogyakarta.
[9] Hardiman, Budi, F. Dahaga akan yang lebih. Kompas, 2 Juni 2004.
[10] Libido dalam teori Freud tentang dorongan-dorongan seksual merupakan suatu konsep “kuantitatif”, yang mengacu pada jumlah hipotetis dari energi seksual yang memotifasi dorongan-dorongan seksual, sekaligus suatu pandangan “kualitatif”, yang berarti bahwa libido secara khusus berkaitan dengan energi mental dalam artian umum. Libido merupakan sebuah konsep ilmiah yang berada di “perbatasan” antara bidang mental dan somatis; ia adalah suatu kesatuan psikis, namun mengacu pada fenomena ragawi. Lebih jelasnya, baca: Kennedy, Roger. Libido; Seri Gagasan Psikoanalisis. Penerbit: Pohon Sukma, Cetakan I, April 2003. Yogyakarta.
[11] Freud, S., “Group Psychologhy and the Analysis of the Ego” (1921), SE, vol. XVIII, hkm. 90.
[12] Saya munggunakan kata pedalaman untuk mengganti kata primitif.
[13] Freud, Sigmund. Totem dan Tabu. Hal 53. penerbit Jendela, cetakan kedua, Yogyakarta, 2002.
[14] Kebung, Konred. Kembalinya Moral Melalui Seks. Basis, hal 39, Nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
[15] Gunawan, Rudi dan Joko Suyono, Seno. Wild Realiti; Refleksi Kelamin dan Sejarah Pornografi. Hal. 3. Penerbit: Gagas Media, 2003, Jakarta.

0 Komentar:

WACANA

Wacana Makassar Studies


Akankah Makassar Studies—sebagai cara pandang yang khas ala Makassar
dalam mendefinisikan diri (the self), yang lain (the other), dan realitas Makassar itu sendiri
tumbuh dan berkembang di Makassar !

Ataukah Makassar Studies
hanyalah sebuah bentuk Objektivikasi terhadap Makassar !


Wacana Makassar Studies merupakan sebuah upaya untuk menemukan cara pandang yang khas ala Makassar dalam mendefinisikan diri (the self), yang lain (the other), dan realitas Makassar itu sendiri. Namun ada beberapa hal yang perlu dikaji secara mendalam mengenai Makassar Studies, jangan sampai justru Makassar studies terjebak dalam bentuk orientalisme gaya baru. Maksudnya bahwa Makassar studies tetap merupakan penjelasan atau cara pandang ‘yang lain’ (the other) terhadap Makassar sebagai obyek.
Olehnya itu, untuk melihat hal tersebut secara lebih jernih maka dibutuhkan sebuah pembacaan mendalam terhadap cultural studies dan hubungannya dengan Makassar studies.
Menurut Ahmad Baso, bahwa cultural studies adalah salah satu bentuk analisis --ada yang menyebutnya pula sebagai sebuah gerakan-- untuk membaca peta dominasi maupun resistensi. Yakni membaca bagaimana kebudayaan menjadi arena untuk melakukan dominasi, sekaligus sebagai alat untuk memainkan negosiasi ataupun perlawanan.
Cultural studies adalah sebuah kerangka analisis yang sulit didefinisikan secara ketat, disatu sisi cultural stadies adalah sesuatu yang antidisiplin, disisi lain cultural studies adalah sesuatu yang multidisiplin. Dikatakan antisiplin karena cultural studies tidak menyandarkan diri pada standar-standar disiplin ilmu tertentu yang terlembagakan. Dan dikatakan multidisiplin karena cultural studies menggunakan berbagai macam perspektif disiplin ilmu dalam memandang realitas.
Secara sepintas terlihat bahwa cultural studies merupakan wacana yang genit, termasuk wacana Makassar Studies. Cultural studies muncul karena kegagalan sosiologi dalam menjelaskan realitas masyarakat kontemporer, terutama kegagalannya untuk menjadi corong bagi segala aspirasi yang timbul pada setiap lapisan sosial yang ada, terutama suara-suara yang muncul dari lapisan pheriferi atau subaltern. Begitu pula halnya dengan Makassar Studies. Seharusnya Makassar Studies muncul karena adanya kegelisahan yang muncul dari subaltern, namun tidak mendapatkan ruang yang leluasa untuk mengekspresikan dirinya.
Wacana cultural studies adalah wacana yang multi perspektif, dan juga sebagai ajang perlawanan terhadap dominasi. Cultural Studies merupakan ruang bagi subaltern bicara, karena didalamnya memberikan ruang yang selembar-lebarnya bagi subaltern untuk mengekspresikan dirinya. Makassar sebagai subaltern tentunya juga membutuhkan ruang yang luas untuk bicara dan mengekspresikan dirinya. Disinilah Makassar studies hadir sebagai ruang bagi subaltern untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi yang ada.
Karena Makassar Studies diorientasikan menjadi ruang untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu, maka seharusnya Makassar studies harus mampu, pertama, betul-betul menjadi cara pandang Makassar atas dirinya (the self). Ini berarti bahwa Makassar Studies harus berbicara bagaimana orang Makassar memperlakukan tradisi yang melekat dan tumbuh di Makassar, tradisi yang dimaksud tentunya merupakan representasi dari identitas diri Makassar. Tradisi menjadi begitu penting, karena bagi Hasan Hanafi, tradisi masih dijadikan sumber otoritas, yang dipakai untuk menolak ataupun memberikan dukungan. Yang menjadi titik tekan disini adalah bagaimana Makassar Studies betul-betul mampu menjelaskan, memaknai, dan mendefinisikan tradisi Makassar sebagai representasi dari dirinya sendiri.
Kedua, Makassar studies sebagai cara pandang atas yang lain (the other), maksudnya bahwa Makassar studies berbicara tentang realitas yang tumbuh dan berkembang diluar diri atau tradisi Makassar. Hal ini berkaitan dengan kondisi modernitas yang melingkupi tradisi yang tumbuh di Makassar, sebagai sesuatu yang berasal dari luar. Kondisi modernitas yang tumbuh dan berkembang di Makassar tentunya sangat berimplikasi terhadap pergeseran tradisi Makassar, bahkan hal ini dapat menciptakan adanya hibriditas yang lahir dari hasil persinggungan modernitas dengan tradisi Makassar. Pada konteks ini, Makassar Studies seharusnya merupakan cara pandang Makassar dalam melihat kondisi modernitas yang melingkupinya.
Ketiga, Makassar Studies sebagai cara pandang atas realitas berbicara tentang bagaimana Makassar hari ini. Realitas Makassar saat ini tentunya tidak bisa lepas dari dinamika yang terjadi antara tradisi lokal Makassar dengan kondisi modernitas yang melingkupinya. Banyak tradisi yang saat ini berkembang di Makassar merupakan tradisi lokal yang telah terhibridasi dengan kondisi modernitas yang melingkupinya. Misalnya saja bahasa gaul anak muda Makassar. Bahasa gaul yang berkembang di Makassar merupakan perpaduan antara logat Makassar yang okkots dengan gaya bahasa anak-anak modern. Ketiga cara pandang inilah yang menjadi objek kajian dari Makassar Studies.
Olehnya itu, untuk menerapkan wacana Makassar studies dibutuhkan pijakan teoritik atau dasar-dasar epistemologi yang betul-betul mengakar pada nalar Makassar. Dasar-dasar epistemologi ini perlu ada, karena kalau tidak, maka yang terjadi adalah; pertama, Makassar studies hanya meminjam analisis cultural studies. Bila ini terjadi, maka Makassar studies gagal menjalankan fungsinya, Makassar studies tidak menjadi sebagai cara pandang Makassar atas diri (the self), atas yang lain (the other), dan atas realitas yang melingkupinya. Dalam hal ini, berarti bahwa cultural studies-lah yang bekerja untuk menganalisis realitas Makassar. Implikasinya bahwa, Makassar studies menjadi ‘hamba’ dari teori cultural studies.
Kedua, karena kebutuhannya akan perangkat analisa cultural studies, maka para penggiat Makassar studies harus menguasai teori-teori dasarnya. Hal ini justru akan menjebak Makassar pada cultural studies yang sangat teoritik. Hal ini diakibatkan karena Makassar studies hanya bermain didalam sangkar analisis cultural studies dan tidak mampu keluar dan menemukan identitasnya sendiri.
Ketiga, ketika bangunan Makassar studies tergantung pada analisis cultural studies, maka Makassar studies gagal menjadi ruang untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu, justru Makassar malah menjadi objek kajian semata. Pada kondisi seperti ini Makassar tidaklah menjadi subjek atas dirinya sendiri, karena ia telah dijelaskan, dimaknai, dan didefinisikan oleh sesuatu diluar dirinya, yaitu cultural studies, dimana seharusnya Makassar studies-lah yang dapat menempati posisi tersebut. Makassar studies-lah yang seharusnya menempatkan diri sebagai penjelas, pemakna, dan pendefinisi atas diri Makassar, bukan cultural studies.
Apabila Makassar studies merupakan ruang bagi Makassar untuk melakukan gugatan dan resistensi terhadap dominasi representasi tertentu tentang Makassar, maka Makassar studies merupakan wacana yang menarik dan perlu diapresiasi secara luas. Tapi bila wacana Makassar studies tidak mampu meletakkan dasar epistemologisnya sendiri, maka bisa saja wacana ini terjebak pada orientalisme gaya baru.Untuk menghindari hal tersebut, kita harus berani melakukan pemotongan genealogi teoritik--meskipun hal ini terkesan sangat sulit--terhadap cultural studies dan mendorong Makassar studies tidak hanya sebagai varian cultural studies spesial Kota Makassar dari pinggiran. Kita merindukan Makassar studies menjadi sebuah analisa yang memiliki keberpihakan penuh terhadap cara pandang orang Makassar dalam memproduksi penjelasan, makna dan definisi tentang berbagai hal dengan sudut pandangnya sendiri. Semoga.....

0 Komentar:

Tuesday, October 10, 2006

JERITAN JIWA

Ada beberapa hal yang harus kau tahu!
Kau lemah…
Kau manja…
Terlalu manja…
Kau tidak bisa jadi sahabatku
Kau pasti lelah dan mengeluh bersahabat denganku

Karena kau anak manja

Griya Azalia, 26 Mei 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Bila kau memilih aktif untuk ber-organisasi
Maka siap-siaplah menjadi martir
Banyak hal yang harus kau korbankan
Segala kemungkinan bisa terjadi
Sakit hati…
Kecewa…
Lelah…
Semuanya berpadu dalam petualangan hidup

Griya Azalia, 8 Mei 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Hidup ini sarat dengan patahan-patahan
Rencana hidup yang tertata rapi
Terkadang abruk seketika tanpa tersadari
Terkadang pula hidup yang kacau
Terbenahi oleh keajaiban-keajaiban
Yang entah dari mana asalnya
Datang begitu saja
Tanpa kita mempertanyakannya lebih jauh

Tepi Danau Unhas, 10 Mei 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Satu lagi kegelisahan terjawab
Menyatukan kesadaranku yang berserak
Bahwa aku bukan manusia super

Pengunduran dirimu
Itu pilihanmu

Pengunduran dirimu
Melepaskan satu tegangan

Untuk Rusán
Griya Azalia, 8 Mei 2006

0 Komentar:

NYANYIAN HATI

Aku ingin cepat selesai kuliah
Jadi pemimpin yang berhasil
Jadi orang sukses
Mengabulkan harapan orang tua
Menikah dengan akhwat idaman
Keluarga yang bahagia
He…he…he…

Arun Kost, 26 April 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Manusia adalah makhluk sempurna...Pelupa...Inkonsisten...Mampu mengingkari diri...Lemah
Inilah sedikit bukti, bahwa manusia itu sempurna

Mungkin banyak orang yang beranggapan bahwa pelupa, inkonsisten, mampu mengingkari diri, lemah dan banyak hal lainnya merupakan sesuatu yang negatif pada diri manusia dan harus segera dirubah bahkan dimusnahkan.

Namun satu hal yang harus kita ketahui bahwa sesungguhnya kekurangan-kekurangan yang dimiliki seseorang justru menjadi kelebihan dan keberuntungan pada situasi dan kondisi ruang dan waktu tertentu.

Kekurangan dan kelemahan pada diri manusia adalah rahmat dari Sang Penciptanya. Karena manusia belumlah dikatakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna jika ia tidak memiliki kekurangan dan kelemahan


Griya Azalia, 26 April 2006

0 Komentar:

JERITAN JIWA

Cintailah penderitaan
Karena ia senantiasa hadir dalam jiwa
Ia adalah teman setia
Yang tidak akan pernah jauh meninggalkanmu

Griya Azalia, 26 April 2006

0 Komentar: